Rabu, 20 April 2011

* Juba Sniper -Short Story-

The Juba Sniper

Dorr!! Sebuah letusan senjata api terdengar kencang diantara sepinya malam di sekitar menara Jumdee. Semua mata yang ada disitu, bergerak saling memandang dengan sorot penuh ketakutan.

“Juba...” ujar lirih seseorang diantara mereka.

Tiba-tiba...brukk! Salah satu dari mereka terjatuh ke atas tanah coklat berpasir yang mereka injak sedari tadi. Lalu darah mulai menggenangi badan tak bernyawa itu. Makin lama makin banyak, merah, dan kental.

Bulan bersinar pucat, sepucat para tentara terpilih yang semakin memias. Terpaku ketakutan. Walaupun sebenarnya tak ada yang perlu mereka takutkan. Karena Juba sudah pergi, Juba takkan pernah melepaskan pelurunya 2 kali. Juba sang legenda.

***

“Assalammu’alaikum, telur setengah kilo bu...” tanya seorang gadis muda berkerudung hitam tersebut pada seorang penjaga toko di pasar tradisional itu.

“Wa’alaikummussalam...sungguh beruntung kau ini, wahai gadis muda, hari ini aku juga akan menggratiskan 3 buah telurku untukmu...” ujar sang penjual penuh senyum bahagia.

Sang gadis mengerutkan dahi tak mengerti.

“Memang ada apa? Kenapa saya mendapatkan 3 telur gratis?”

“Tidakkah kau tahu, kalau hari ini Juba telah membunuh satu lagi tentara kafir itu...Alhamdulillah...ayo nak ambil telurmu ini...” ujar sang penjual seraya menyerahkan sekantung penuh telur.

Juba...Juba kembali memakan korban...Juba sang legenda..ujar si gadis dalam hati. Sebuah senyuman terukir di wajah cantiknya yang tertutup cadar. Juba...sebuah legenda yang nyata...aku harus cepat-cepat pulang, pasti kakak datang hari ini...ujarnya dalam hati bersemangat. Dan aku akan menceritakan semua tentang Juba...

Gadis itu melangkahkan kakinya buru-buru. Dengan perasaan senang membuncah, seperti penjual telur tadi...dan seperti semua orang yang sedang melafadzkan hamdallah di pasar tradisional tersebut. Semua orang bahagia...semua orang senang...dengungan lafadz Hamdallah masih terdengar...dan si gadis telah meninggalkan pasar, untuk segera menyambut sang kakak.

***

“...Benar-benar hebat lho kak! Aku salut sama pahlawan kita itu, Maha Benar Allah, pertolonganNya akan selalu mempermudah para hambaNya yang teraniaya seperti kita...”

Nafshah, nama gadis itu, masih dengan bahagianya bercerita segala sesuatunya tentang pahlawan legendaris yang sangat dikaguminya. Kakak kembarnya hanya tersenyum sambil meneguk segelas air ditangannya.

“Kak, kakak selama ini kemana sih? Kakak selalu begitu, pergi tiba-tiba...pulang juga tiba-tiba..memangnya kakak selama ini kemana?”

Kakaknya hanya terdiam mendengar pertanyaan adik satu-satunya itu. Seolah pertanyaan itu angin sepoi yang berlalu begitu saja.

Nafshah memperhatikan wajah teduh sang kakak yang hanya berbeda beberapa menit saja darinya itu seksama. Hidung, lekuk pipi, bentuk bibir, mata...semua sama sepertinya. Yang membedakan hanyalah caranya menatap, tatapan kakaknya itu sangat bersahaja dan berkharisma, seperti tatapan para mujahid di berita-berita saat ini.

***

Gusrak...terdengar suara pintu dibuka perlahan. Nafshah yang memang tak bisa tidur, menegakkan kepala saat melihatnya. Kakak. Gumamnya pelan. Lalu perlahan tapi pasti, Nafshah mengambil kain penutup kepalanya yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Lalu berjalan mengendap, ia keluar dari kamarnya. Ternyata benar, itu memang abangnya, Ahmad. Hendak kemana tengah malam begini? Tanya Nafshah dalam hati heran.

Didepannya sang kakak sudah siap-siap pergi, meloncat, melalui pintu yang dibukanya, lalu menutupnya kembali hati-hati.

Aku akan ikuti kakak, aku harus tahu, kemana kakak selama ini pergi! Tekad Nafshah dalam hati. Perlahan sekali Nafshah berjalan menyusuri tempat kakaknya pergi, lalu membuka pintu belakang itu pelan-pelan, sang kakak berjarak ± 1,5 m dari tempatnya berdiri sekarang.

***

Nafshah harus bersabar untuk tidak menepuk nyamuk-nyamuk yang berdenging ganas disekitarnya. Karena di tengah hutan yang gelita seperti ini, suara sekecil apapun dapat sangat memberitahukan keberadaannya. Pada sosok di hadapannya. Kakaknya. Kakaknya bergerak memasuki sebuah rumah pondokan kecil yang terbuat dari kayu-kayu yang sudah tua.

1 menit, 2 menit, hingga 5 menit kakaknya masih belum keluar juga dari sana. Tangan dan kaki Nafshah sudah bengkak-bengkak karena nyamuk-nyamuk yang lapar terus bertambah. Kakak kemana sih? Tanyanya penasaran. Dan itu terjawab, ketika pintu pondokan tua itu terbuka.

Disana, yang berdiri bukan lagi sang kakak. Melainkan sosok lain yang memakai baju hitam serba tertutup, lengkap dengan penutup kepala, seperti tokoh-tokoh mujahid, yang sering dituduh teroris oleh mata dunia.

Tiba-tiba sosok itu melayangkan pandangan ke arahnya bersembunyi. Nafshah terkejut bukan main. Buru-buru ia menenggelamkan kepalanya di rerimbunan semak sebagai penghalang. Masih dengan perasaan takut bila ketahuan, Nafshah mencoba mengintip dari balik sisi semak yang tak berdaun.

Orang itu masih melihat ke arahnya tajam, seakan-akan tahu kalau ia sedang diperhatikan. Kakak...dimana kau...tolong aku... ujar Nafshah. Merinding seluruh bulu kuduk Nafshah bila mengingat rupa orang bertopeng itu. Senapan laras panjang di panggul di punggungnya yang tegak, seakan-akan siap untuk memuntahkan isinya pada siapa saja yang ia temui.

Orang itu sudah pergi, meninggalkan derap-derap langkah yang gagah, tak kenal takut dan lelah.

Setelah benar-benar yakin kalau orang itu sudah pergi, Nafshah memberanikan dirinya untuk keluar dari persembunyiannya. Ditengoknya daerah sekitarnya, mungkinkah kini malah dia yang sedang diamati, dan diincar oleh orang misterius itu. Tapi, tidak. Hanya gelap malam dan semarak bintang serta nyanyian alam saja yang dapat ia rasakan.

Memberanikan diri Nafshah berjalan ke arah pondok tua yang tadi di kunjungi kakaknya. Jantungnya ber-dag-dig-dug ria membayangkan apa yang ada di dalamnya.

Semakin dekat dengan pintu tua yang terlihat rapuh itu. Lalu ia membuka pintu itu, sebuah tarikan nafas panjang mengiringinya....Subhanallah!!

***

Senapan laras panjang, Revolver, Pistol-pistol kedap suara, M-16, serta beberapa senjata lain yang ia tak tahu apa jenisnya dan apa namanya. Yang ia tahu pasti, semua senjata itu cukup untuk membunuh setiap makhluk yang hidup. Belum lagi ratusan selongsong peluru yang berserakan dari berbagai jenis merk. Ya Allah, apa pondok ini sarang teroris?! Tapi...

Nafshah melanjutkan langkah kaki kecilnya. Di remangnya malam, karena memang bulan tertutup awan, Nafshah dapat melihat sebuah meja kayu yang merupakan, satu-satunya meja yang bersih dari barang-barang mengerikan seperti yang ia lihat sebelumnya.

Nafshah mengangkat sebuah kain berbentuk baju terusan panjang, dan koko berwarna kuning gading...seperti milik kakaknya...lalu celana panjang berwarna putih yang tadi sore dilihatnya dipakai oleh sang kakak...

Gerakan Nafshah semakin cepat, seakan tak percaya akan kenyataan baru yang berada dihadapannya. Ditemukan sebuah buku tua dengan coretan seperlunya. Nafshah membukanya dengan tangan gemetar.

Selasa, x Februari 2005 : Rustamiyah: 1 tentara

Jum’at, x Juli 2005: Ramadi: 4 Sniper

Minggu, x November 2006: Baghdad, Kamp Blue Sharp: 2 , Komandan & prajurit

Nafshah menatap tak mengerti catatan kecil dengan coretan sekenanya di depannya. Nafshah membolak-balik secara terus menerus buku itu. Dan tanggal terakhir yang tercantum...

Rabu, x Desember 2006: Kamp Jumdee: 1 prajurit

Dan mengertilah Nafshah, catatan apa yang berada ditangannya itu. Itu adalah catatan para tentara yang terbunuh selama ini. Wajah Nafshah semakin merona. Tangannya kembali mengacak-acak meja di depannya.

Sebuah peta sederhana yang menggambarkan kotanya ditemukan terhampar di ujung sisi meja. Tapi itu bukan peta seperti kebanyakan peta, itu adalah peta yang menunjukan tempat persembunyian dan tempat berpangkal para pasukan terlaknat dari negeri Paman Sam. Beberapa dari tempat-tempat itu tampak diberi tanda silang dengan tinta merah.

Di bawahnya tertulis dengan tinta merah, Juba Never Die.

***

“Satu lagi, tentara dari Amerika tewas mengenaskan, dengan luka tembak pada tulang belakangnya, yang tepat mengenai pembuluh darahnya, hingga membuatnya pecah dan mengeluarkan isinya. Padahal, saat itu ia memakai baju dan jaket anti peluru. Sungguh menakjubkan pahlawan kita ini. Juba memang benar-benar menakjubkan.

‘Sebuah tembakan yang sangat sempurna,’ Komentar Letnan Kolonel Kevin Farrel, saat menceritakan salah satu operasi yang dilakukan Juba.

‘Kemampuan itu bisa dibilang sangat baik, apabila dilihat dari kualitas para penduduk lokal’ kali ini seorang Sniper dengan 1-64 batallion yang berkomentar...”

Nafshah masih terpaku akan keterpesonaannya pada berita yang dilihatnya di depan sebuah toko pakaian, bersama para penjual dan pembeli yang lain. Juba the Legend...dia bukan Samson...atau Hercules...ataupun Achilles...dia adalah seorang Pahlawan legenda yang selalu muncul dimana ada kemungkaran...Juba...Juba...nama itu terus mendenging di telinga Nafshah. Memberikan semangat baru padanya untuk melakukan segala aktivitasnya. Serta memberikan sebuah tiupan semangat untuk selalu membela agamanya. Islam.

***

3 Bulan berlalu...

Semua orang masih menitikkan air mata, mengiringi kepergian pahlawan yang mereka kagumi selama ini. Juba. Juba telah mati.

Setidaknya itulah yang diberitakan oleh pihak militer terkutuk itu. Dengan sebuah video yang disebarkan ke seluruh stasiun televisi tentang eksekusi orang yang dijuluki Juba itu. Semua orang merasa sedih. Termasuk Nafshah.

Tapi, Nafshah bersedih bukan karena kehilangan pahlawan yang dikaguminya. Bukan juga karena kehilangan sang kakak yang sangat dipujanya. Tapi karena dia merasa iri. Dia merasa iri, kalau harus mengakui kakaknya telah dijemput oleh-Nya menuju syurga tempat para syuhada terlebih dulu. Menikmati nikmatnya bertemu dengan syuhada-syuhada lain yang lebih dulu syahid. Menikmati indahnya syahid, untuk memperjuangkan dien-Nya. Nafshah iri. Sangat iri. Setetes airmata kembali menetes, membasahi kerudung hitam yang selalu dipakainya. Juba Never Die...itulah yang ditulis oleh sang kakak pada peta yang ditemukannya di pondok tua tempat semua barang milik kakaknya di simpan. Juba Never Die...

***

Seminggu setelahnya...

Langkah-langkah kaki angkuh itu berjalan menyusuri pasar tradisional yang biasanya di kunjungi Nafshah. Melecehkan setiap penjual yang berada disana. Mencibir pada setiap orang yang sedang membeli bahan keperluannya.

Dorr!! Tiba-tiba sebuah letusan senjata api menghentikan langkah kaki pongah itu. Tangan kekarnya memegang dahi yang terasa memanas, lalu jatuh meregang nyawa dengan sangat menjijikkan.

Masyarakat yang melihat peristiwa itu hanya terbelalak terkejut. Entah dimulai dari siapa, tiba-tiba gema Takbir memenuhi pasar tradisional yang tak seberapa besar itu.

“Allahhuakbar!! Allahhuakbar!! Juba telah kembali!!”

“Juba telah kembali!! Allahuakbar!!”

Takbir masih terus bergema, memenuhi seluruh rongga telinga Nafshah. Bangkai si munafik di lempari oleh berbagai benda, mulai dari telur, tomat, bahkan beberapa pedagang ayam, membiarkan ayamnya menginjak-injak jasad yang tak bernyawa itu.

Nafshah hanya tersenyum ketika seorang wanita tua memeluknya bahagia.

Pasar masih hiruk pikuk, tak seorangpun yang perduli pada jenazah yang tergeletak hampir di tengah pasar. Hingga petugas dari rumah sakit, menggotong tubuh tak bernyawa itu. Itupun diiringi sumpah serapah masyarakat, dan cacian yang menyakitkan hati.

Nafshah hanya tersenyum melihat semua fenomena itu. Kedua tangannya yang tertutup oleh lebarnya jubah yang dipakainya, takkan pernah membuat orang merasa curiga, dengan apa yang dibawanya sedari tadi. Nafshah terus berjalan cepat, bunyi sirine semakin mendekat. Namun Nafshah tak peduli, Nafshah terus berjalan. Hingga ia benar-benar sudah keluar dari lokasi pasar yang sudah diblokir petugas.

Jantungnya memang berdegup kencang, entah tegang, entah senang...

Nafshah menyentakkan lengannya...sebuah revolver kecil meluncur cepat dari lengannya.. langsung mendarat di telapak tangannya yang bersih.

Ku teruskan perjuanganmu kak...tunggu aku, aku pasti menyusul...tekadnya...

Tunggu aku, sabarlah kak...Juba Never Die...

End

* Cerita fiksi ini diilhami oleh sebuah artikel (hal:30, Dunia Islami, Edisi ke-8, 1 Desember 2006) mengenai tokoh utama Juba, pahlawan legendaris dari Baghdad, yang tak pernah diketahui siapa dan darimana, tapi selalu menjadi mimpi buruk bagi tentara Amerika yang berada disana. Seaman apapun keberadaan mereka, bila mendengar nama Juba, pasti mereka gemetar. Di dalam DVD yang disebarkan, dikatakan, bahwa hampir 143 pasukan Amerika mati di tangan mujahid Allah yang berani dan cerdas ini. Kita berdo’a saja, agar perjuangan sniper kita ini tak pernah punah, untuk membela agama kita yang suci dan mulia ini. Amiiin.

Tidak ada komentar: