Jumat, 22 April 2011

* Gak Nyangka -Novel 1- ini novel jaman gue masih Ababil, jadi rada blushing2 gimaanaaaa gituuu..wkkwkk..!

“C

ie…Dinda, yang lagi jatuh cinta nih ye! Dunia seakan-akan berubah jadi pink!” Celetuk Fania, jahil. Wajah Dinda memerah, ia mencubit lengan sahabat dekatnya tersebut. Fania tersenyum jahil

”Ya ampun yang lagi kasmaran, wajahnya merah semerah warna pink!” sambungnya. Wajah Dinda semakin memerah, tapi kali ini dia angkat bicara

“Ih! Kenapa harus warna pink gitu loh?! My love world is Blue lagi! Pink?! Ih…amit-amit!!” Jawabnya sambil merangkul pundak Fania. Fania menggeliat, mencoba melepaskan diri dari rangkulan Dinda.

“Aaaah, Dinda, Fania kan udah sering bilang, jangan rangkul-rangkul pundakku ini. Pundak ini hanya untuk orang yang paling istimewa!” gerutu Fania. Dinda melepaskan rangkulannya. Ia menatap Fania dengan tatapan jenaka.

“Oooo…jadi aku nggak istimewa ya?! Ya udah deh kita nggak usah bersahabat lagi!” Kata Dinda.

“Eeh…bu..bu..bukannya…bukannya gitu, maksudku, ng…kamu tahulah betapa nggak nyamannya aku kalau ada yang menyentuh bahuku dari dulu, Dinda … Dinda istimewa kok di hati Fania, eh jangan marah ya…kan cuma bercanda…” Kata Fania, cemas.

“Hi…hi…hi…ye! Fania kena!! 1-0 untukku!! Becanda lagi!! Mana mungkin sih seorang Dinda mau meninggalkan Fania yang merupakan sahabat terbaik sepanjang masa…”

“Aaah! Dinda nyebelin! Tega-teganya ngeboongin Fania!”

“Maaf, abisnya kamu tu paling gampang ditipu sih, jadi asyik aja!”

“Dasar!! Nyebelin!!”

“Eh terus, ngomong-ngomong orangnya tahu nggak kamu suka sama dia?” lanjut Fania melanjutkan percakapan mereka sebelumnya. Dinda menggelengkan kepalanya cepat. “Jangan pernah dan jangan sampai!” kata Dinda.

“Lho kok???” jawab Fania spontan. Dinda mengerling jenaka.

“Lho kok gimana? Buat apa aku ngomong sama dia, ini kan belum tentu cinta” jawab Dinda. Fania mengangguk lemah, walau sebenarnya dia tidak mengerti, ah…ya sudahlah, sebagai sahabat yang baik, aku harus menyatukan mereka berdua, tekad Fania dalam hati.

***

“Her, lo curiga nggak?” tanya Fahri pada teman sebangkunya, sambil terus mencatat tulisan yang ada di papan tulis.

“Curiga apa?” kata Heri balik bertanya, cuek.

“Ya ampun ternyata lo tu bener-bener polos ya man! Jadi lo sama sekali nggak tahu?”

“Curiga apa? Tahu apa? Ngomong tu yang jelas napa?!” kata Heri yang kini terlihat mulai kesal

“Lihat Fania, dari tadi gue udah mergokin dia ngeliatin elu! Makannya jangan terlalu serius belajar dong! Peduli dikit kek sama lingkungan sekitar, kalo kaya gini terus,jangan-jangan pas gue mati disamping lo, lo nggak tahu lagi!”

“Ya udah sono mati aja lo! Bersyukur gue nggak ngeliat lo pas lagi sakaratul maut! Lagian sebodo amat, mau si Fania ngeliatin gue kek, mau melototin gue kek, itu hak dia, mata-mata dia ini, asal dia nggak ngeganggu privacy gue, gue sama sekali nggak masalah!”

“Ya ampuuuuuun Heri!! Masih nggak ngerti juga ya lo itu?! Dia tu ngeliatin elo pasti ada sebabnya, entah dia suka, entah dia kesel, atau marah, masa lo sama sekali nggak penasaran sih?!” kata Fahri sedikit emosi

“Nggak,” jawab Heri enteng.

“Astagaaaa Heriii!!!” kali ini kesabaran Fahri habis, ia berdiri sambil berkacak pinggang.

“Fahri!!!” tiba-tiba terdengar suara pak guru memanggil cowok badung tersebut. Fahri tersentak kaget, ia kembali duduk di tempat duduknya. Waduh mati gue!! Keluhnya dalam hati.

“Fahri, kamu dengar bapak?” tanya pak guru sekali lagi, Fahri mengangguk.

“I..i,iya pak, saya de..dengar,” jawab Fahri ketakutan

“Kenapa kamu?”

“Ng…anu..itu…”

Heri tersenyum melihat kawannya yang kewalahan menjawab pertanyaan dari pak guru yang bertuubi-tubi. Rasain lo, gangguin gue sih! Katanya dalam hati.

***

“Mau es Ri?” Kata Heri menawarkan es-nya. Fahri melirik kesal ke arah Heri.

“Dasar!! gara-gara lo,gue jadi dihukum nih! eeeh…masih berani nawarin es lagi! Ya udah sini! gue haus nih!” kata Fahri, merebut es dari tangan Heri.

“Busyet deh!! Haus sih haus, tapi jangan kaya onta di padang gurun gersang gitu dong! Tapi…nggak pa-pa deh kasihan…kan lagi dihukum nih! ngepel koridor sekolah ! nggak keren banget, ngepel gitu loh! Ng… mau dibantu? Atau…butuh bantuan?” kata Heri dengan nada mengejek. Fahri melempar kain pel yang sedari tadi kerendem di bak air kotor ke arah Heri, Heri mengelak. “Reseh lo ya?! Kalo mau bantu, bantu aja, nggak usah banyak omong, ayo bantu!!!” jawab Fahri kasar. Tanpa diminta dua kali, Heri membantu Fahri mengepel. Setelah semua pekerjaan selesai, mereka berdua melepaskan penat di bawah pohon mangga.

“Eh Ri, ngomong-ngomong lo bener soal Fania…” kata Heri membuka pembicaraan.

“Emang kenapa?” tanya Fahri heran, mengapa tiba-tiba Heri membicarakan hal itu.

“Tadi gue ngecek lo boong nggak sama gue, dan ternyata setelah gue cek, ternyata…lo bener…gue mergokin dia ngeliatin gue..”

Rasanya saat itu Fahri tertimpuk bola yang sangat besar mendengar pengakuan dari Heri. Aduuuh ni bocah nyebelin banget sih, gue udah mandi keringet begini dia baru sadar kalo gue ngomong bener tadi,gerutu Fahri dalam hati.

“Wooi!! Fahri masih hidup kan?! Kok bengong sih?” kata Heri menggoyang-goyangkan bahu Fahri. Bukannya menjawab Fahri malah menjitak Heri.

“Dasar bocah tengil!! Gue udah keringetan begini lo baru sadar!! Seneng banget ya kalo liat gue jadi babu macam begini!!” kata Fahri kesal. Heri hanya tersenyum jahil.

“Lho…kok tahu sih…jadi malu…” celetuknya jahil. Fahri melotot mendengar jawaban yang tidak diduga-duga tersebut. Melihat ekspresi Fahri yang terlalu memaksakan diri itu, Heri buru-buru meminta maaf.

“Eeeh…sorry sih, just kidding lagi!! Jangan melotot gitu ah, jelek!”

Bukannya tambah reda, mata Fahri tambah dipelotot-pelototin hingga debu masuk matanya.

“Aduuuh Heri tolong dong tiupin mata gue, kemasukan debu nih!”

“Makannya jangan belagu, sini gue tiupin…puffh…”

“Waduh,niup sih niup tapi angin aja dong yang keluar, jangan sampe muncrat macam begini dong!”

“He…he…he…maaf nggak sengaja…”

“Ya! Gue maafin! Eh terus, reaksi Fania waktu ketahuan sama lo gimana?!”

“Nah, pas dia lagi ngeliatin gue, gue bales ngeliatin sambil sanyum dan melambaikan tangan eeeh…dianya malah memalingkan wajahnya…kayak kesel gitu deh, ya udah gue cuekin aja!”

“Bodoh!!”

“Apa katamu?”

“Bodoh, gimana nggak di bilang bodoh, lo sok Te Pe gitu! Gue aja males ngeliatnya apalagi si Fania, dasar bloon!”

“Te Pe?! Apaan tuh?”

“Gini nih orang yang nggak pernah masuk kota, hobinya observasi ke hutan mulu! Te Pe aja nggak tahu. Te Pe itu Tebar Pesona tahu!”

“Oooo….”

“Tapi…..”

“Tapi kenapa?”

“Dia kayaknya nyembunyiin sesuatu deh…gue juga nggak tahu apa…”

“Kira-kira apa ya?”

“Entahlah, yang pasti sesuatu yang misterius yang harus diungkap…”

***

“Dor! Hayo Fania ketahuan!” bentak Fahri di telinga gadis itu. Fania tersentak kaget, Ia berdiri dan menatap Fahri dengan tatapan kesal.

“Apa-apaan sih kamu! Ngagetin aja senengnya!” katanya kesal

“Sengaja, supaya lo lebih sehat, kan sport jantung!” jawab Fahri enteng. Fania tambah kesal mendengar jawaban yang menyebalkan yang diberikan oleh Fahri tersebut.

“Ye…bukannya minta maaf malah ngejawab lagi!! Sana minggir aku kepanasan kamu disini, sana pergi…hus…hus…” jawab Fania seraya mendorong Fahri menjauh dari mejanya.

“Iya deh iya nona manis, gue nggak ganggu lo lagi deh!!” kata Fahri memohon.

“Terserah, udah sana jauh-jauh dariku!!” kata Fania terus mendorong Fahri.

“Oke, lo ya yang ngusir gue jangan sampai nyesel lho! Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau lo dari tadi ngeliatin si Heri, gimana ya kalau si Heri tahu?!”

“Ap…apa…kamu bi…bilang” kata Fania tergagap.

“Ya apa lagi?! Lo tadi ngeliatin si Heri kan? Dengan tatapan yang….wuih…ck..ck..ck…nggak bisa diungkapin dengan kata-kata”

“Tetep mau ngusir gue nih? Gue sih nggak apa-apa tapi kasihan elu-nya” lanjut Fahri. Kali ini dengan sikap mengancam. Kontan saja wajah Fania menjadi pucat mendengarnya. Waduuuh, cowok ini bener-bener usil, iseng, badung, jail, ngeselin, pokoknya nyebelin deh! Kata Fania dalam hati. Melihat Fania yang bengong, Fahri beranjak dari tempat duduknya.

“Ya udah gue pergi nih! daaah…”

“Eeeeh…jangan pergi dulu…sebenarnya kamu itu salah sangka…” kata Fania menahan Fahri. Ia memegang lengan Fahri kuat-kuat.

“Salah sangka?! Salah sangka gimana? Jelas-jelas gue liat elu ngeliatin si Heri”

“Oke-oke aku certain, tapi kamu jangan kasih tahu siapa-siapa ya…sebenarnya…….” Lalu Fania-pun mulai bercerita tentang Dinda.

“Kayaknya kita berdua harus melakukan sesuatu deh!” sambil melipat-lipat kertas yang ada didepannya.

“Kita berdua?! Nggak salah denger tuh? Nggak gue nggak mau!” sergah Fahri.

“Lho…tapikan…tapikan…Fahri udah tahu ceritanya, terus lagian kamu sahabatnya si Heri, please dong bantuin aku….” Kata Fania dengan wajah memelas. Sebenarnya Fahri hampir ngomong ya, tapi begitu lihat tampang melasnya Fania, timbul niat usilnya.

“Oke…tapi harus ada imbalannya, nah imbalannya buat gue apa?”

“I…imbalan? Aduh…Fahri kan tahu sendiri Fania itu selalu dibatasi…gimana Fania mau bayar Fahri…”

“Lo itu emang orang kaya yang medit ya! Bolehlah, tiap pagi diantar pake Freed, tapi untuk bayar gue aja nggak bisa! Dasar pelit!”

Daripada kamu, dasar cowok matre!! Kata Fania dalam hati.

“Terus gimana dong, kitakan berteman, saling bantu kenapa? tanpa pamrih…”

“No..no..no..ini bisnis…jadi harus ada imbalannya…”

“Ya…terus apa dong imbalannya ? kamu itu cowok jahat dan matre ya ternyata…”

“Dari dulu!! Ng…gimana kalo lo bayar pake tenaga lo?”

“Ma..maksud…maksudnya apa?”

“Gini gue kan kerja di sebuah toko buku, gimana kalo lo bantuin gue, tapi gaji lo, buat gue…setuju? Oke udah setuju, kerjanya hari Selasa, Kamis, Sabtu dari jam 14.30-20.30. gimana? Bisa? Bisa…baguss…”

Fania diam mendengar Fahri yang sedari tadi berbicara. “ Ker…ja?”

“Iya kerja, gampang kok, cuma ngangkat-ngangkat buku aja!”

“Ngang…kat …bu…ku…”

“Iya ngangkat buku, eh iya satu lagi, ini berlaku selama kerjasama kita berlangsung, oya gue cabut dulu ya, jangan lupa besok kan hari kamis, lo bawa aja baju ganti, kita langsung berangkat dari sekolah!” teriak Fahri dari kejauhan. Fania hanya bengong mendengarnya. “Ker…ja…ngang…ka…tin…bu…ku…” gumamnya pada diri sendiri.

***

“Heri!!” panggil Fahri dari kejauhan sambil berlari ke arah Heri yang berjalan di depannya.. Heri melambaikan tangannya ke belakang.

“Hah..hah..hah…tahu nggak Her, gue dapet anak buah buat ngebantuin gue kerja di CAHAYA PUSTAKA nanti!” kata Fahri girang.

“Yang lebih asyiknya lagi, anak buah gue itu rela uang gajiannya buat gue!! Wuiih bahagia gue!” sambungnya bersemangat. Heri mengerutkan dahinya.

“Emang ada orang sebodoh itu?!”

Kontan saja Fahri sedikit kesal mendengarnya.

“Dasar! ngomong aja lo sirik sama gue!!”

“Siapa sih? Boleh tahu ngak?”

“Ada deh!!” jawab Fahri sok misterius. Fahri meninggalkan Heri yang masih penasaran dengan orang yang dimaksudkan si Fahri. Sebodoh-bodohnya orang nggak mungkin lah dia rela ngasihin uang gajinya begitu saja…kira-kira siapa ya? Katanya dalam hati.

***

“O…jadi ini pekerja barunya?! Baiklah bekerjalah sebagus mungkin, jangan melakukan kesalahan secara keterlaluan! Fahri, aku perlu berbicara denganmu saja dan kau pekerja baru, tunggu disini!” kata bos toko CAHAYA PUSTAKA. Fahri mengikuti kemana pria paruh baya itu pergi.

“Fahri, bukannya apa, tapi saya ragu untuk memperkejakan gadis yang kau bawa tadi, sepertinya dia tidak pernah bekerja keras”

“Memang bos, dia itu putri seorang konglomerat, tapi bos saya kasihan padanya, sebenarnya dia itu baru minggat dari rumahnya, mungkin masalah keluarga, terus, dia datang pada saya, agar saya bisa membantunya, jadi ya…”

“Kamu memang anak yang baik. Kamu juga pekerja yang rajin dan giat, tapi yang dibutuhkan kita adalah pekerja yang rajin, giat, dan pantang mengeluh! Aku tak yakin itu dapat dilakukan oleh pekerja baru kita ini”

“Tapi pak saya yakin bisa, binatang aja kalau dilatih pasti jadi jinak dan patuh pada tuannya, apalagi manusia”

“Kau mau memberi jaminan apa kalau gadis itu bisa bertahan?”

“Saya nggak tahu pak….”

“Baiklah, kalau gadis itu nggak bisa ngerjain tugasnya dengan sempurna , maka kamu akan saya pecat, gimana?!”

“Ng…baiklah…”

“Ya sudah, sana kembali bekerja!”

Fahri keluar dari ruangan yang luas dan dingin tersebut. Fania menyambut Fahri yang keluar dari ruangan bos yang menurutnya cukup menyeramkan.

“Gimana? Apa aku diterima?”

“Lo nggak denger ya, pokoknya lo sekarang kerja aja deh, inget jangan buat kesalahan!! Tugas pertama lo, nempelin label harga ke buku-buku yang bersangkutan, bisa kan?”

“Aduhhh…”

“Aduh kenapa?”

“Nnggak apa-apa kok”

“Ya udah ini labelnya dan…selamat bekerja”

Fania mulai bekerja dengan tugas pertamanya. Ini sih gampang, katanya dalam hati. 30 menit berlalu, nampaknya Fania mulai bosan. Ia meletakkan stiker label yang berada di tangannya ke sebuah tumpukan buku.

“Fahri ada pekerjaan lain nggak? Fania bosan nih!”

“Nggak ada, udah kerjain aja supaya cepet selesai” Jawab Fahri dengan tangan yang makin sibuk menumpuk buku

“Ng…Fahri, apa setiap hari kamu bekerja seperti ini?”

“Iya…”

“Apa kamu nggak ngerasa capek?”

“Iya…”

“Apa kamu nggak bosan”

“Iya…”

“Apa kamu…”

“Stop…stop, diam dan bekerja!, ngapain sih nanya-nanya kayak gitu! Ayo kerja lagi!!”

Fania hanya diam. Ia mencabut salah satu stiker label harga dan menempelkannya ke dahinya.

“Eh… Fahri, lihat Fania, Fania lucu nggak? Jadi inget film-film Vampire di Cina!” kata Fania sambil bergaya seperti Vampir. Fahri melirik sedikit kearahnya. Aduuuuh….ni anak gimana sih?! Kata Fahri dalam hati.

“Aduh Fania! Jangan kayak anak kecil gitu dong!! Ayo lepas, kalo bos tahu bisa-bisa gue dipecat nanti!!” kata Fahri seraya mencabut stiker yang berada di dahi Fania tersebut. Deg! Jantung Fania seakan berhenti berdetak saat Fahri menyentuh dahinya. Fahri-pun terpaku didepannya. Mereka saling berpandangan dalam waktu yang cukup lama. Tiba-tiba Fania tersadar, lalu ia mencabut lagi sebuah stiker dan menempelkannya ke dahi Fahri.

“Ini balasannya kalau ngambil yang bukan miliknya hihihi…wee!!” kata gadis itu jenaka. Fahri yang tersadar dari lamunannya, lalu dengan gemas mencabut satu stiker dan menempelkannya ke hidung Fania.

“Kamu kira aku tak bisa membalas ya?!”

Lalu beberapa saat kemudian mereka asyik berperang menempelkan stiker, hingga…

“Apa-apaan ini?!” terdengar suara lantang yang menggelegar bagai petir di siang hari. Mereka berdua menoleh ke arah pintu yang merupakan sumber suara itu berasal. Astaga!! Sejak kapan bos berdiri disitu?! Kata mereka dalam hati.

“Fahri, kemari kau! Aku ingin bicara dua mata denganmu, dan kau gadis pengacau diam disini!”

Fahri mengikuti kemana bos yang sedang marah besar itu pergi. Brak!!!! Pintu dibanting begitu saja olehnya.

“Aku kecewa padamu Fahri!! Aku benar-benar kecewa, kukira kau salah satu pegawai yang rajin dan giat dalam bekerja keras!!”

“Tapi boss….”

“Ternyata aku salah, kau tetaplah siswa SMA yang tidak bisa apa-apa, benar-benar mengecewakan!”

“Jadi…”

“Kau di pecat!!”

“Tapi boss…”

“Sudahlah, cepat sana pergi, kau tak mau kan jika aku mengusirmu secara tidak terhormat, oya jangan lupa juga bawa gadis kecilmu itu dan didik dia untuk bekerja keras!!”

* Utara Selatan -Short Story-

Utara Selatan

Ahmad rawatib Dzuhur…Ahmad ngajinya 2 juz…Ahmad baca Riyadhus Shalihin ayah…Ahmad jangan suka nonton TV...Ahmad ini...Ahmad itu...aku hampir hapal semua ucapan ayah, yang hampir di katakan padaku tiap harinya. Oya, namaku Ahmad Sobirin, nama udik yang diberikan kedua orang tuaku. Setiap masuk ke kelas baru, hampir semua teman-temanku mentertawakanku.

“Ganteng-ganteng, wajah indo, namanya Ahmad...Sobirin pula...kenapa nggak sekalian Ahmad Sasongko aja...atau Ahmad Siregar?!” ledek salah seorang teman baruku dilanjutkan dengan kikikan beberapa lainnya , saat aku memasuki bangku SMA.

Oya, lupakan nama, toh aku juga tak terlalu memusingkannya. Aku anak kedua dari 3 bersaudara. Saudaraku semuanya perempuan. Kakakku Aisyah, mahasiswi jurusan sastra yang berprestasi kebanggaan ayah. Lalu adikku Nafsah, ‘anak manis’ yang selalu menuruti perintah ayah. Sama sepertiku.

Aku tumbuh dan berkembang di sebuah keluarga, yang bisa di katakan fanatik dengan agama. Ayahku seorang terpandang di kompleks rumahku tinggal. Ibuku, ketua pengajian ibu-ibu RT. Kedua orang tuaku ini benar-benar aktif bila ada acara-acara berbau religius apapun bentuknya. Dirumah, ayah melengkapi isi perpustakaan keluarga dengan bacaan-bacaan tebal seperti, Riyadhus Shalihin, Shahih Muslim, Duratun Nasihin, dan beberapa terjemahan Hadist, dan Al Qur’an dari beberapa penerbit. Ibu selalu stay tune di depan radio, mendengar murratal Qur’an yang dilantunkan seorang ustadzah yang kini mulai naik daun. Ya, begitulah kedua orangtuaku, mereka selalu menyibukkan keseharian mereka dengan kegiatan-kegiatan yang berbau agama. Memang bagus sih, tapi...

***

“Sudah khatam berapa kali nak?” tanya ayah kemudian, jujur, sebenarnya pertanyaan ini yang yang membuatku merasa malas untuk menjawab.

“Ng...” gumamku ragu.

“Berapa kali?”

“Belum yah...aku belum khatam 3 bulanan ini...” ujarku akhirnya, jujur.

Ayah terdiam cukup lama ketika mendengar pengakuanku. Aku gugup tak karuan karenanya. Semoga saja beliau tak marah.

“Kamu ini gimana sih Mad, ayah saja yang lebih tua darimu, bisa mengkhatamkan al Qur’an sebulan sekali. Kamu kok, 3 bulan nggak kelar-kelar...kamu payah Mad!” komentar ayah pedas.

Aku hanya menunduk, mendengarnya.

“Memangnya kamu ngapain aja sih?! Ayah lihat kamu jarang sekali dirumah? Belajar nggak pernah, masak baca Al Qur’an aja nggak khatam-khatam?! Heran ayah sama pikiran kamu!” tandas ayahku, tanpa memberiku kesempatan berbicara.

“Sedikit-sedikit, kamu beralasan ada kegiatan di organisasi...apa? yang ada disekolahmu itu? Rohis ya? Ya...Rohis, tapi masak khatam aja nggak sanggup!” lanjut pria 48 tahunan itu dengan nada mengejek.

Aku, sekali lagi hanya bisa terdiam. Duduk, menatap ayah dengan tatapan kosong. Berusaha terlihat seperti anak manis.

“Ingat Mad, kamu adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga ini! Harusnya kamu bisa menjadi seorang pemimpin untuk kakak dan adikmu! Bukannya malah malas-malasan seperti ini,” ujar ayah menasihatiku.

Aku mengangguk, mengiyakan.Aku takkan bisa mendebat semua keputusan ayahku, itu kelemahanku yang paling besar. Tak pandai bersilat lidah. Aku paling benci jika harus menghadapi situasi seperti itu. Lebih baik aku diam, dan mengangguk manis daripada harus ngotot-ngotot berbicara.

***

Kami berdua saling tertawa renyah. Aku selalu tertawa bila berada didekatnya, bercerita, bahkan membicarakan masalah pribadi. Namanya Andrian, lengkapnya Andrian Reksa Putra. Ia anak pembantuku, bude Isyah. Dia baru saja pergi dari kampungnya setelah lulus STM, untuk sekedar membantu ibunya yang sudah renta. Umurnya memang 2 tahun lebih tua daripada aku. Tapi, aku sama sekali nggak memasalahkan selisih usia itu. Yang penting bagiku, anaknya asyik diajak ngobrol, udah cukup kok.

“Kamu itu termasuk orang-orang beruntunglah Mad, dibesarkan disebuah keluarga yang mengerti agama, aku kagum sekali pada pakde Ashyari, hebat...kharismanya itu lho...” ujar Andri, dengan nada suara yang masih medok, penuh kekaguman. Aku hanya tersenyum simpul mendengar pujiannya. Ah...kharisma...gumamku dalam hati.

“Pasti kamu bangga ya Mad, punya ayah yang shaleh, ibu yang taat, dan keluarga yang...subhanallah...”

Sekali lagi aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Pasti keluargamu itu termasuk Sakinah, Mawadah, Warohmah, dan Dakwah ya Mad...?” ujar Andri sekali lagi. Aku hanya menaikkan bahuku sebagai jawabannya. Sakinah, mawadah, warahmah, dakwah ya...

***

“Mas, sampein salamku sama mas Andri ya...” ujar Nafsah mengagetkanku. Adikku itu baru menduduki kelas 2 SMP, tapi badannya sudah seperti anak-anak SMA umumnya, tinggi semampai, dengan kulit kuning langsat, dan rambut sebahu yang hitam dan ikal. Cantik.

“Kok centil gitu sih?” tanyaku tanpa melepaskan pandanganku dari buku yang sedang kubaca.

“Siapa yang centil?! Ini namanya usaha Mas, usaha kan nggak salah...” kelitnya.

“Kamu memangnya suka Andri? Ngomong aja sendiri,” jawabku cuek.

“Nggak ah...malu, Mas Ahmad aja sih mediatornya...alias mak comblang,”

Aku menggeleng. Enak aja, giliran begini, selalu saja, Mas tolong ya...Mas bantuin aku...mas aku bingung nih, tapi giliran dapet coklat dari pacar-pacarnya, aduh mas rata-rata coklatnya berkismis...aku buru-buru nih, kapan-kapan aja ya...dan segudang alasan lain yang intinya menolak. Tapi aku nggak begitu ngaruh sih, karena aku juga dapat dari para gadis yang suka padaku. Walau aku tak membalasnya, tapi rejeki...nggak ditolaklah!

Kok jadi ngelantur jauh gini, yah intinya, giliran susah, mulai ngedeket-deket, ngerayu-rayu...tapi pas lagi hepi mendadak kumat deh amnesianya.

“Ya mas ya...ya mas ya...” ujar adikku itu memohon padaku. Geli juga melihatnya memohon seperti itu. Akhirnya aku menganggukkan kepalaku, menyetujui permintaannya. Sinar matanya bersinar senang.

“Makasih ya mas...” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku senang.

“Nggak gratis lho, Toblerone 1!” seruku kemudian. Nafsah membalikkan badannya dan mengulurkan lidahnya padaku, aku balas menjulurkan lidahku. Diantara 3 bersaudara, Nafsah memang lebih dekat denganku daripada mbak Aisyah.

***

“Mad udah hafal berapa juz?” tanya ayahku, sambil menyirami tanaman bunganya. Aku yang sebelumnya sibuk mengonsep susunan Acara untuk PHBI minggu depan di sekolahku, terpaksa menghentikan kegiatanku itu.

“Ng...belum yah...baru hafal sampai Asy-Syams...itu juga patah-patah, suka lupa-lupa inget...” jawabku gugup.

Ayah masih menyirami tanaman dipotnya tanpa berbicara sepatah katapun.

“Asy-Syams ya...sehari menghafal berapa ayat? Masak dari dulu Asy-Syams saja...nggak maju-maju...”

Akhirnya komentar pedas yang sebenarnya sama sekali nggak aku tunggu keluar juga.

“Ingat nak, kamu itu satu-satunya anak laki-laki yang ayah dan ibumu punya, kamu akan menjadi pemimpin bagi kakak dan adik-adikmu...”

Lalu ceramah panjang lebar ayahpun dimulai. Kepalaku mulai berdenyut. Aku hanya diam, mentap ayah kosong. Semua nasihat ayah yang di include ke dalam telingaku, ternyata hanya ‘numpang lewat’ dan keluar kembali dan menguap tak berbekas. Aku bosan, setiap hari hanya memakan nasihat-nasihat yang sama dan membosankan.

***

“Pasti enak punya orangtua shaleh, setiap tindak-tanduk kita selalu terkontrol, nggak perlu repot-repot mengontrol diri sendiri...” ujar Andri sekali lagi. Mata coklat jernihnya menatap angkasa penuh kekaguman. Aku hanya tersenyum sinis mendengarnya.

“Iya kan Mad, kamu setuju dengan pendapatku kan?” tanyanya padaku.

“Kalau menurutku, kontrol diri itu tetap dibutuhkan, nggak selamanya orangtua akan mengontrol kita bukan?” ujarku kemudian, mataku juga sedang terpaku melihat indahnya biru langit.

“Iya, tapi...setidaknya, mereka bisa mengarahkan kita ke jalan yang di ridhoi sama Gusti Allah, ndak seperti ibuku...walaupun sekarang beliau sudah mulai berubah...” jawab Andri kemudian.

“Ndri...Andri...nggak semua yang kita bayangkan itu sesuai dengan kenyataan yang ada...” ujarku tanpa melepaskan pandanganku ke arah langit yang semakin biru, karena awan-awan yang mulai bergerak meninggalkannya.

“Maksudnya apa? Aku nggak ngerti...” ujar Andri penuh tanda tanya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

***

Apa ini yang dinamai keluarga sakinah? Dimana seorang anak tak diberi hak untuk menyampaikan pendapatnya? Dimana seorang anak, hanya harus menjalankan apa yang dikatakan oleh kedua orangtuanya, tanpa boleh mencari kenapa ia harus melaksanakan itu semua? Apa ini yang dinamakan keluarga mawadah? Dimana seorang anak mendapatkan beribu teori tentang keagamaan dan kasih sayang, namun dalam penyampaiannya banyak sekali menyakiti hati dan membuat luka jiwa...

Jawablah wahai saudaraku, apa aku salah jika aku bertanya seperti itu? Karena itulah yang kualami. Didalam sebuah keluarga bernuansa islami, aku terkungkung dalam tekanan tanggung jawab yang kuemban. Begitu beratnya hingga aku tak sanggup lagi, hingga aku tertatih menghadapinya...aku capek, aku penat, aku lelah, aku benci dengan semua kebohongan ini, maafkan aku ayah tersayang, ampuni aku ibunda tercinta, tapi aku merasa cukup dengan segala khianat yang kulakukan dibelakang kalian. Dan aku akan mengakhirinya, segera...

***

Aku harus menenangkan ibu untuk kesekian kalinya. Ibu sudah pingsan untuk ke-3 kalinya. Kenyataan pahit yang melandanya memang cukup berat untuk di tumpu seorang diri. Ayah, dengan wajah bijaknya, beristighfar di ujung lorong rumah sakit. Penyesalan dan kekecewaan terlukis di wajah tuanya yang sudah di penuhi keriput. Duhai ayah, kasihan sekali dirimu, di ujung senja usia, di timpa bencana yang begini hebat dan tak disangka-sangka, Nafsah menangis tersedu diduduknya. Dan aku hanya menatap kaca bening yang memperlihatkan sosok wanita yang terbaring sekarat. Kakakku. Aisyah. Ia yang sedang terbaring disitu dengan jarum infus yang tertancap di ujung tangannya dan selang oksigen yang diselipkan di sela kedua lubang hidungnya. Wajahnya pucat, menyiratkan rasa sakit yang menggerogotinya. Rasa sakit saat Sakaw. Kakakku OD. Ditemukan dalam keadaan sekarat di sebuah diskotek...sungguh malang nasibmu kakakku, jalan inikah yang kau titi...padahal kaulah harapan kedua orang tua kita. Kau lah yang selalu dibangga-banggakan oleh mereka. Kaulah mutiara yang indah diantara perunggu dan perak dalam keluarga kita. Kakakku masih terbaring disana. Dadanya bergerak naik turun pelan sekali, seakan-akan susah baginya untuk menghirup oksigen yang tersebar di ruangan dingin tersebut. Sekali lagi aku tertegun. Sedih. Geram. Dan kecewa.

***

“Gimana kabar mbak Aisyah?” tanya Andri padaku.

“Alhamdulillah, keadaannya sudah membaik, beliau sudah bisa berbicara dan bergerak seperti biasanya, tapi...secara mental...ia cacat. Kakakku cacat mental..”

Suara Andri mengucapkan kalimat Thayyibah terdengar lirih di telingaku.

“Maaf ya Mad, aku nggak bisa datang menjenguk, saat itu aku masih diluar kota mengemban tugas yang diberikan ayahmu...” ujarnya sambil menepuk bahuku.

“Ah...nggak apa-apa kok Ndri...” kataku dengan menyunggingkan senyuman terpaksa.

“Saya nggak habis pikir, apa motivasi mbak Aisyah sampai nekat seperti itu...” ujar Andri pada dirinya sendiri.

“Karena cowok, Kak Aisyah melakukan itu semua karena kekecewaannya pada seorang pria yang diidam-idamkannya, kubaca dari Diary-nya, kakakku sangat kecewa saat mengetahui pria idamannya menikah dengan temannya. Sampai-sampai ia melakukan hal bodoh itu...” jawabku tanpa ditanya.

Dan aku pun tahu, kakak menjadi shalih, pintar dan alim juga bukan karena kepahamannya akan semua doktrin yang ayah cekokkan pada kami. Tapi karena ingin mendapatkan cinta dari pria idamannya itu. Sungguh tak disangka.

“Mencoba bunuh diri karena seorang cowok...seperti nggak ada cowok lain saja...” gumam Andri pelan. Aku hanya terdiam mendengar komentarnya. Memang bodoh sekali kakakku itu. Benar kata Andri, seperti tidak ada pria lain yang lebih baik daripada pria idamannya itu saja.

***

Kuhabiskan sepertiga malamku dengan tangisan panjang diantara sujudku. Kulepaskan semua beban yang bersandar di pundakku. Terdengar suara pintu kamarku diketuk. Aku mengakhiri semua keluh kesahku padaNya. Dan beranjak kearah pintu kamar, lalu membukanya.

Didepanku Nafsah menangis, dengan baju minim bahan dan make up belepotan di wajah cantiknya, ia berlari memelukku. Aku berusaha menenangkannya, membimbingnya menjauhi pintu kamarku.

Kini aku dan Nafsah sudah terduduk di dipan empuk di dalam kamarku. Nafsah masih tergugu di dadaku.

“Ada apa? Kenapa kamu menangis? Kamu darimana? Ada apa dengan pakaianmu?” tanyaku bertubi-tubi saat Nafsah mulai bisa mengendalikan tangisnya. Terisak Nafsah mulai menceritakan apa yang terjadi malam itu. Malam itu adalah malam ulang tahun kekasihnya, kekasih Nafsah sudah duduk di bangku SMA. Malam itu mereka merayakannya di hotel berbintang lima. Nafsah yang datang--dengan diam-diam menyelinap pergi dari rumah-- menjadi tamu paling agung di pesta yang rata-rata di hadiri oleh teman si pria. Di tengah pesta, Nafsah di beri minuman yang aneh rasanya, Nafsah sebenarnya sudah berusaha menolaknya. Tapi sang kekasih mendesaknya. Akhirnya dengan embel-embel rasa kasih sayang dan cinta, Nafsah meminum air yang mencurigakan itu. Tak berapa lama Nafsah tak ingat apa-apa lagi. Ketika ia siuman dari pingsannya. Disampingnya sang kekasih sudah duduk tanpa mengenakan apapun... Nafsah baru terkejut. Ia menangis sejadi-jadinya.

Aku membanting bantal yang sedari tadi kupegang. Wajahku memerah karena amarah yang memuncak. Berani-beraninya menyakiti adik kesayanganku?! Cukup hanya kakakku yang tersiksa oleh makhluk bernama pria, takkan kubiarkan adikku merasakan keputusasaan yang sama. Aku beranjak dari dudukku penuh amarah. Mengambil kunci motor yang tergantung, dan berjalan meninggalkan adikku yang masih tersedu.

***

Kutancap gas motorku kencang-kencang. Nafsah bilang, pria brengsek itu masih di hotel tempat ia menodai emas putihku yang cantik. Sialan, akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri. Tekadku sudah bulat, akan kuhajar laki-laki sialan itu sampai ia pun tak bisa merasakan jarinya!

Silau lampu, membuatku memicingkan mata. Terlambat, sebuah mini bus menabrak motorku yang melaju kencang. Braakk!! Aku merasakan tubuhku melambung tinggi sekali, lalu...kepalaku membentur lapisan aspal yang keras dan aku tak ingat apa-apa lagi.

***

Samar kudengar isak tangis ibu dan Nafsah. Aku merasakan sekujur tubuhku di balut kasa. Sakit rasanya. Oooh...inikah rasanya saat menunggu maut yang akan menjemput. Sakit, sakit sekali.

“Naf...saah..” erangku susah payah, bahkan mengerangpun aku kesusahan. Nafsah yang tersedu mendekatiku.

“Kakak...kakak...maafin Nafsah kak...” ujarnya diantara air mata yang menganak sungai.

“Iya dik...maafin kakak juga ya...ibuu...aku...aku minta maaf...maafkan aku ibu...ayah juga...maafkan aku...maafkan anakmu yang durhaka ini...” ucapku terbata-bata.

Kulihat sekilas dari ekor mataku. Andri sibuk menenangkan ayah yang shock. Aku tersenyum, tampaknya ayah sudah menemukan pengganti yang lebih baik dariku. Aku dapat melihat malaikat Izrail yang siap-siap menjemputku. Tersenyum ku menatap keluargaku terakhir kalinya. Samar kudengar bunyi mesin yang mendeteksi detak jantung berbunyi ‘tiiit’ lama sekali. Samar..samar...hingga tak terdengar sama sekali...

Selesai

*The Virus-Novel 2-

SERANGAN MISTERIUS

“H

ah…hah…hah..aku..aku tidak jadi mati…” gumamnya diantara nafas yang menderu. Jantungnya masih berdetak kencang. Zha memegang dadanya untuk menenangkan dirinya. Rambutnya berantakan tertimpa angin, karet yang mengikatnya sudah copot dan jatuh ke bawah.

“Bukankah operator AirTrans ini sudah mengingatkan untuk tidak mengeluarkan anggota badan, nona?” ujar seseorang dari arah sampingnya. Nadanya dingin menyindir.

Zha membenarkan letak kacamatanya dan menoleh kearah sampingnya. Seorang pria bertekstur badan tinggi, mungkin 182 cm, berdiri diantara kursinya dan koridor AirTrans.

“Terimakasih atas pertolongan anda, tapi saya tidak butuh dan tidak mengharapkan pertolongan dari anda!” ucap Zha angkuh.

Namun pria jangkung itu hanya menaikkan bahunya saja dan berlalu meninggalkan Zha.

Zha melongo menatap punggung si pria jangkung yang semakin menjauh. Dasar pria aneh, gumamnya. Ia menyentuh kaca mobil untuk menutupnya dan mengaktifkan system APC kembali.

Zha menatap Otwatch miliknya…angka-angka digital disana menunjukkan pukul 9 pagi, apa?! 9 pagi?! AKU TERLAMBAT!!!

***

Kantor Manajer NewInNews, pusat NewWell...

“Maaf sir, tadi…jalanan macet…jadi…”

“Alasan itu lagi!!! Kau tahu kan, NewWell bukanlah kota kecil, seharusnya kamu lebih bisa mengatur jadwalmu!!”

“Maaf sir…”

“Mana..?”

“Apanya sir?”

“Apa lagi?! Artikelmu, bodoh!”

“Baik..baik sir…sebentar saya ambil dulu..”

Zha berjalan kearah sofa tempat ia meletakkan tasnya buru-buru. Ia mengambil artikel mengenai penemuan spesies baru yang diketiknya semalaman. Dan menyerahkannya pada sang bos.

Zha mundur lima langkah menatap sang bos yang mondar-mandir membaca artikel miliknya tersebut. Semoga berhasil…doanya dalan hati.

Tiba-tiba sang bos berhenti berjalan dan menatap Zha lama. Zha tidak mengerti arti tatapan bosnya tersebut. Semoga tatapan memuji…ujarnya dalam hati, berharap.

“Kemari kau,” ujar sang bos.

Zha tersenyum ragu sambil berjalan pelan-pelan.

“Bisa cepat sedikit tidak?!” bentak sang bos.

Zha bergegas berjalan mendekati sang bos.

“Apa yang kaupikirkan?” Tanya sang bos.

“Saya…saya…saya berpikir kalau artikel yang saya buat sekarang akan diterima sir …”

“Apa katamu barusan? Diterima? (Zha mengangguk takut) Jadi kau pikir setengah marmut itu bakalan merubah peradaban NewWell 1 abad ke depan?!”

Zha merasa badannya lemas kembali. Artikelnya ditolak lagi.

“Jawab!!”

“Tidak sir…”

“Jadi, kenapa kau buat juga?! Come on, kita bukan majalah kacangan seperti SkyZone ataupun ReutersLink yang menampilkan berita sampah dan sama sekali nggak bisa di percaya! Kita ini yang terbaik Zha, YANG TERBAIK!!”

“Tapi sir…”

“Kau kupecat, selama ini kau tak pernah bekerja dengan beres, pergi sana!”

“Tapi sir, saya…”

“Sudah kubilang pergi sana! Atau mau kupanggilkan Securicy-Bo?!”

Sir saya mohon, jangan pecat saya…saya…saya sanggup memecahkan misteri empat peristiwa yang belum ada jawabannya itu sir! Saya pastikan itu!” ucap Zha penuh putus asa. Pimpinanannya menatapnya tak percaya. Oh…Come’on give me the last chance, harap Zha.

“Apa maksudmu?”

“Ng…saya akan memecahkan misteri peristiwa-peristiwa aneh yang menimpa kota kita sir…”

“Maksudmu…kasus NÄ›wStyle Dept. Store…Dokter Frank…apartemen Miliyuner Ronald Tortoz dan…kebakaran di sekolah kedutaan?”

Zha mengangguk mantap, keringat dingin merembes ke dalam kerah bajunya. Terima..terima…harapnya dalam hati.

“Kau bercanda ya? Bahkan Fast yang kutugasi saja belum menemukan titik terangnya, bagaimana dengan wartawan gadungan sepertimu..?!” ujar Bos sambil menyebutkan nama seorang wartawan kriminal yang bekerja di sana, dan tentu saja selalu berhasil dalam tugasnya. Tak seperti Zha, yang terus-menerus gagal.

“Saya akan mengerjakannya sepenuh hati sir, dan tidak akan gagal…” ujar Zha gemetar.

“Baiklah…baiklah, daripada aku harus mendengar omong kosongmu, lebih baik buktikan saja, kalau kau berhasil, aku tak jadi memecatmu, dan kalau kau bisa lebih cepat menyelesaikan masalah ini daripada Fast, kau akan kuberi reward yang sesuai…”

“Baik sir…”

***

Zha membuka pintu apartemennya kasar. Brengsek, darimana aku akan mulai, bahkan akupun tak tahu harus bagaimana, kenapa sih si botak tua itu selalu saja menyulitkanku, lagian ReutersLink kan nggak jelek-jelek amat, apalagi rubrik Gosspot (Rubrik yang khusus membahas gosip-gosip artis) si tua itu saja yang nggak punya selera bagus. Tapi…Zha dihantui perasaan bimbang akan keputusan yang diambilnya.

“Charlotte…kamu dimana? Char…” panggil Zha. Charlotte adalah nama yang diberikannya pasa Servcy-Bo yang mom kirimkan padanya.

Brengsek kau ya! Keluar kau cy-bo lemot!”

Namun tak ada jawaban, sama sekali tak ada jawaban. Sepertinya kesunyian memang sengaja menyapanya. Sial…sial…kemana sebenarnya cy-bo bodoh itu pergi.

Zha mengehenyakkan badannya di atas sofa tuanya. Dan…

Bruuuk…Sofa tua penuh debu itu langsung ambles, seperti tanah longsor. Badan Zha langsung menyentuh dasar sofa yang kotor dan di tempati paku-paku kecil yang tajam.

“Aduuh! Aw…!” Jerit Zha mengaduh. Paku-paku kecil itu cukup tajam untuk membuatnya kesakitan. Zha mencoba berdiri dan melepaskan paku-paku yang menempel.

“Siaaaaal!” Jeritnya melepaskan emosi.

Ia beranjak meninggalkan ruang tamu yang masih tak berbentuk akibat kejadian barusan, terbesit, betapa marahnya Charlotte jika mengetahuinya. Tapi, Zha tidak mau memikirkannya, ia segera beranjak tidur. Ya, satu-satunya tempat yang aman dan nyaman adalah tempat tidurnya. Diluar terlihat gelap, sepertinya akan turun hujan deras, tapi sekarang kan minggu-minggu terakhir musim semi…ah buat apa dipikirkan, ucapnya dalam hati.

Zha mulai tertidur dalam kekalutannya. Sayangnya mimpinya juga tak melepaskan ia dari perasaannya itu. Zha bermimpi buruk, terlihat saat dia mulai mengigau dan berkeringat dingin. Tapi Zha masih saja tidur.

***

Zha membuka matanya pelan, langit sudah gelap. Zha menutup mulutnya yang terbuka lebar karena menguap, dengan kedua telapak tangannya. Sudah malam rupanya, gumamnya pelan. Charlotte sudah pulang belum ya? lanjutnya dalam hati.

Gadis 20 tahun itu meraba meja di samping tempat tidurnya untuk mencari kacamata miliknya. Setelah memakainya ia beranjak ke dapur untuk minum. Namun langkahnya berhenti ketika ia berada diantara persimpangan ‘berbagai jalur’ -itu adalah sebuah tempat yang bisa menghubungkannya ke kamar, kamar mandi, ruang tamu, dan dapur-.

Dari arah depan apartemennya terdengar suara ribut-ribut orang banyak.

Zha membatalkan niatnya untuk minum, ia merasa penasaran dengan keributan itu. Sebenarnya apa sih yang diributkan?. Di kota NewWell itu jarang sekali lho... antar tetangga saling mengenal. Apalagi sampai ngerumpi serame ini.

Namun sesampainya di ruang tamu, ia melihat Charlotte berdiri didepan pintu antara ruang tamu dan koridor apartement yang tentu saja menghalangi jalannya.

“Ada apa sih Charlotte? Rame banget…”

“Nona Zha sudah bangun?! Mandi dulu sana!” suruh Charlotte galak. Charlotte memang diprogram untuk selalu membentak.

“Yee…aku kan nanya baik-baik!! Ya udah..ya udah aku mandi, tapi jawab dulu ada apa?”

“Ada Crackers –teroris- masuk ke lingkungan apartement kita! Nah sekarang nona Zha mandi dulu!”

Charlotte mendorong tubuh Zha menjauh dari ruang tamu, lalu memelototkan mata besinya yang mengerikan. Zha menjulurkan lidahnya kesal. Crackers?

***

Cklik!! Blitz yang dihasilkan kamera digital yang asli ketinggalan zaman kembali menyilaukan ruangan yang sempit itu.

“Nak Zha, kenapa kamu tidak membeli Camtic saja, setidaknya tidak usah memakai blitz-lah. Mata saya agak sakit setiap kali lampu blitz itu muncul..” ujar Nyonya Ven, tetangga sebelah Zha sambil berusaha menutupi matanya.

Zha berhenti menjepret, ia menatap kamera digital miliknya yang dibeli di tukang loak dengan harga yang murah.

“Gimana ya tan, langka sih kamera seperti ini, kalau saya mau, mungkin saya beli Camtic keluaran Aprodix serie A05C63, yang bisa dikecilin sampe segede cincin dan bisa jadi alat komunikator dalam jarak ± 2,5 km itu lho…tapi…ngapain, lagian siapa tahu ada yang mau beli kameraku ini dengan harga mahal… kan kamera kayak gini udah langka...” ujar Zha ringan, senyuman kecil terkembang dibibirnya yang mungil, membentuk dekokan imut di pipi lembutnya. Yang bener aja, harga kamera ini sekitar 1 Zaph 10 Sozaq 10 Pez, sedangkan Aprodix serie A05C63, 109 Zaph 5 Sozaq, Bayangkan saudara-saudara! Selisihnya saja sudah 100 kali lipat lebih! Bisa-bisa bakalan kerja rodi 2 tahun tanpa libur ataupun cuti, ujarnya dalam hati, kalau keras-keras nanti kedengaran, kan malu!.

“Oya tan, balik lagi, apa kata polisi setelah memeriksa apartement tante ini?”

“Tante juga bingung, tante sempat bertanya pada beberapa Policy-Bo, mereka bilang ini fenomena yang sama yang terjadi pada empat kasus-tak-terjawab. Namun kepala pemimpinnya bilang kalau ini ulah Crackers yang mau mengacau” ujar Nyonya Ven menceritakan sesuai dengan apa yang didengarnya kemarin sore.

“Lalu menurut tante sendiri, lebih cenderung kemana?”

“Saya nggak tahu harus bicara gimana, karena semua itu terjadi tiba-tiba. Ceritanya ketika saya sedang menyiapkan makan malam keluarga di dapur, tiba-tiba saya mendengar ledakan, saya kira tetangga sebelah, ketika saya hendak membangunkan anak-anak saya, barulah saya terkejut, apartement saya sudah tinggal separuh, anak-anak saya selamat tapi ya itu…saya jadi trauma…” urai Nyonya Ven gemetar, seperti menceritakan kejadian paling menakutkan di dunia.

“Suami saya yang baru pulang bergegas membawa kami ke rumah ibunya di lantai bawah, dan menelpon polisi serta memanggil para pemadam kebakaran,”

“Apa tante melihat orang yang sedang berlari…atau orang-orang mencurigakan?”

“Tidak….makannya saya takut sekali…apalagi kalau benar seperti yang dikatakan para Policy-Bo…” ujar wanita setengah baya itu gemetar.

“Ya udahlah tante…sekarang tante istirahat dulu, maaf lho ganggu…tapi saya mau memotret ruangan ini kembali…”

“Silahkan nak…silahkan…saya percaya kamu pencari berita yang baik, walaupun saya belum pernah baca artikelmu di NewInNews, tapi tolong ungkap kasus ini, saya nggak mau ada Ven-Ven yang lainnya…”

Zha mengangguk takzim lalu mulai memotret sekeliling ruangan itu kembali. Sinar lampu Blitz yang menyakitkan mata kembali mengisi ruangan kosong itu. Jadi ini sejenis dengan 4 kasus-tak-terjawab…ini bisa jadi titik awal bagiku. Tak kusangka aku tinggal di Apartement yang akan didatangi oleh pelaku 4 kasus-tak-terjawab itu. Harapan baru memenuhi dada Zha.

Lampu blitz masih terus bergantian bersinar, seperti mesin fotocopy jadul yang sedang bekerja.

***