MAZE
Tak ada yang tidak kenal Maze. Semua kenal Maze, penulis baru yang melejit karena novel berserinya. Novel yang menceritakan sisi lain dari kehidupan manusia, memang bagus karena ciri khasnya dalam menulis tiap kata di dalamnya berbeda dengan penulis lainnya.
Maze, baru-baru ini mendapatkan penghargaan dari penerbit terbesar di Indonesia sebagai penulis terbaik dan penjualan buku karya negeri sendiri terlaris selama satu tahun ini, dengan rekor satu minggu 350.000 eksemplar, dan sampai sekarang masih dicetak ulang.
Sungguh mengagumkan penulis yang satu ini. Tulisannya memang mempunyai daya tarik sendiri yang dapat memikat muda-mudi Indonesia untuk mengonsumsi setiap karangannya.
Tapi satu yang tak pernah diketahui para penggemarnya. Identitas, identitas dari Maze itu sendiri. Tak ada satupun yang tahu, wanitakah ia? Atau seorang pria? Nama sesungguhnya ataukah nama pena Maze itu? Seperti apa orangnya? Maze lahir dimana? Kapan? Tak ada yang tahu. Satupun. Karena disetiap karyanya tak pernah ada biografi singkat tentangnya. Benar-benar seorang penulis yang misterius.
***
“Rosiii!! Kamu udah baca kumcer Maze yang baru belum? Judulnya ‘Bulan Merintih’! nanti anterin aku ke toko buku ya, takut kehabisan. Katanya bagus banget lho!” ujar Dewi semangat. Ia rekan sekantorku, tapi ia bekerja di bagian Redaksi. Sedangkan aku di bagian Dana dan Usaha.
Dia salah satu Maze-ers yang sangat menggemari karya-karya Maze. Setahuku, dompetnya tak pernah kering untuk membeli buku-buku karangan Maze.
“Ros, kabarnya Novel Maze mau Go Internasional lho! Hebat kan?! Siapa tahu dia bisa mengalahkan J.K. Rowling atau Christopher, atau bahkan mungkin Enid Blyton! Kereen...” ujarnya penuh kekaguman.
“Eh, aku masih penasaran lho, Maze itu ikhwah bukan sih? kalau dilihat dari keseluruhan karyanya seperti, Surga untuk Mama, Jilbab Biru Baru Bibah, Jembatan Hidup, Hati-Hati Hatni, Pesantren Coklat, Dunia dalam Kubus...”
“Hei...hei... kau ini mau membacakan katalog atau meneruskan kalimatmu?” ujarku memotong. Habisnya kalau tidak dibegitukan, biar dia nyerocos sampai maghrib juga nggak akan kelar-kelar tu omongan.
“Ups Sorri, kelupaan, ya pokoknya rata-rata setiap karyanya itu walaupun itu teenlit, tapi kesannya islami. Berpihak di kita. Ya nggak Ros?”
“Hmm...” jawabku malas. Memang sih, walaupun terkadang ada di antara kerya-karya Maze yang nggak aku suka, tapi bisa dibilang, rata-rata karyanya memang pro.
Dewi masih bercerita tentang pengarang kesukaannya itu. Maze. Hanya Maze. Jujur semenjak kemunculannya, yang ada di kepalaku hanya tanda tanya besar. Siapa yang disebut Maze itu?
***
Gempar. Kalau bisa dibilang, semua penggemar Maze gempar. Karyanya kali ini sungguh kontras dengan beberapa karyanya yang sebelumnya. Karyanya sekarang membahas tentang kehidupan Underground, dan kalau aku nggak salah, sepertinya dia pro juga dengan kehidupan yang ‘wow’ itu!
“Ini ni, penulis kesayanganmu Dew...” ledekku, menyodorkan buku setebal 125 lrmbar itu padanya. Dewi menyorongkan buku itu kembali padaku.
“Aku sudah baca kok,... namanya juga manusia Ros, tapi aku yakin dia ada maksud khusus mengangkat tema ini,”
“Kamu yakin darimana, Dew?”
“Ya...yakin aja...”
Dan percakapanku dengan Dewi berakhir. Kalau memang benar ada maksud tersembunyi dari penulis misterius kita ini. Lalu apa?
***
Ternyata memang benar. Karya Maze kali ini banyak menimbulkan Pro dan Kontra. Penerbit buku-nya kali ini, di datangi puluhan perwakilan LSM untuk dimintai keterangan.
Aku hampir lupa. Sebelum karyanya yang kontroversial ini keluar. Maze disebutkan sebagai satu-satunya penulis yang berhasil mendistribusikan seluruh bukunya dari Sabang sampai Merauke. Dan menurut catatan MURI merupakan buku terlaris selama satu dekade ini. Dan milisnya dikatakan sudah mencapai 1,5 juta lebih orang yang ikut bergabung, dan sampai sekarang masih bertambah. Di sebuah daerah malahan dikatakan sudah mendirikan sebuah sekolah yang konsep dasarnya sama dengan salah satu karya milik Maze. Dahsyat sekali pengaruhnya pada pertumbuhan di Indonesia ini!
Kembali lagi pada buku kontroversial Maze. LSM-LSM itu minta agar dipertemukan dengan Maze untuk membahas karyanya kali ini. Penerbit telah berjanji akan menghubungi Maze dan berita selanjutnya tergantung dari keputusan Maze.
***
“Ros?! Sudah dengar belum? Maze mau mengadakan Konferensi Pers! Membahas karyanya yang kemarin! Tuh kan sudah kubilang, dia pasti ada maksud tersembunyi menciptakan karya kontroversial seperti itu!” ujar Dewi terengah-engah.
“Ini, kau baca sendiri saja,” ujarnya menyodorkan artikel yang sudah digunting.
Maze Akhirnya Membuka Mulut.
“Wawancaranya besok, jam 3 sore, disiarkan langsung,”
Aku hanya terdiam mendengar informasi yang disampaikan Dewi. Pikiranku kembali melayang membayangkan, seperti apa Maze itu?
***
“Rossi, makan dulu nak, kamu kan belum makan dari pagi tadi,” ujar ibuku dari dapur yang tak begitu jauh dengan ruang keluarga.
“Nanti saja Bu, Rossi nggak mau ketinggalan berita nih!” ujarku sambil menyalakan tombol on pada TV. Ibu menghampiriku ikut menatap lurus ke arah kotak kubus yang jarang sekali kutonton itu.
“Memang berita tentang apa sih? Kamu serius banget kayaknya?” tanyanya.
“Maze,” jawabku singkat.
“Maze? Oo... penulis terkenal itu ya? Sepupumu Dhika suka sekali saat ibu belikan buku karangannya,”
Bahkan ibukupun tahu, tapi sekarang bukan saatnya membahas betapa terkenalnya orang yang dipanggil Maze itu. Dan wawancara-pun dimulai.
Namun...
“Maze tidak dapat hadir jadi saya disini menggantikannya untuk menjawab semua pertanyaan saudara-saudara, tapi nanti saudara-saudara semua dapat berhubungan dengan Maze melalui telepon ini...”
Ujar wanita berkerudung biru itu ramah, dengan senyuman khas-nya. Lalu ia mulai membahas karya Maze yang kontroversial.
“Nak, itu kan Diana? Temen SMA kamu kan?” ujar ibu tiba-tiba.
Aku menatap ibu jengkel, karena mengganggu keasyikanku mendengarkan argumentasi yang disampaikan si gadis. Lalu kembali menatap layar televisi, dahiku mengerut, ya... itu... Diana!!
Diana, adalah temanku sewaktu SMA dulu. Dia, aku dan Dewi dulu tergabung dalam satu organisasi majalah sekolah dan tentu saja Rohis.
Tapi kalau melihatnya sekarang, sangatlah berbeda dengan Diana yang kukenal dulu. Jilbab yang dipakainya, cara senyumnya, cara berbicaranya, dan penampilannya, yang jelas berbeda sekali, pantas saja aku tak mengenalinya.
“Dan sekarang kita dengarkan Maze dari telepon ini, Halo Maze...” ujar Diana, menatap lurus ke arah hp-nya. Dan itu bukan salam yang biasanya diucapkannya.
“Halo,” terdengar suara balasan dari hp yang sudah di loudspeaker-kan itu.
“Apa kabar Maze?”
“Oh, aku baik, bagaimana wawancaranya Di?”
“Syukurlah, berhasil dengan baik...”
“Kalau begitu, terimakasih ya Di, maaf merepotkanmu,”
“Ah, tidak apa-apa kok Maze, sekarang kau terangkan sendiri pada para penggemarmu, apa maksudmu mengeluarkan novel seperti ini,”
Lalu suara Maze pun terdengar menggantikan suara Diana.
Bahkan dari suara pun aku tak bisa menebak dia itu perempuan atau laki-laki.
Maze mulai memberikan argumennya. Ternyata ia tak hanya pintar dalam merangkai tulisan, kelihaiannya dalam berbicara pun tak diragukan. Setiap kata yang dipilihnya begitu sempurna, tidak ada permaknaan ganda ataupun menimbulkan pertanyaan berikutnya. Jadi teringat para politisi yang sering berdiplomasi, mendadak aku membayangkan kalau saja Maze itu adalah para politisi yang menjadi penulis, he..he.. siapa tahu?
***
“Ros, kamu lihat berita kemarin kan? Itu Diana kan? Temen kita?” ujar Dewi memberikan kata sambutan pertamanya saat melihatku memasuki ruang kerjaku. Aku hanya mengangguk malas seraya meletakkan tasku ke atas mejaku, membenarkan letak jilbabku yang sedikit melenceng.
“Wah hebat dia, dia jadi orang kepercayaan Maze! Memang hebat! Padahal selama ini kita kan nggak tahu gimana kabarnya, ternyata, diam-diam menghanyutkan ya...”
Komentar tentang Diana segera berganti dengan topik tentang wawancara kemarin. Dan aku terpaksa mendengarkannya sembari mengerjakan pekerjaanku.
***
“Nih!”
Sebuah kertas undangan mini tapi terkesan lux, melayang dan jatuh tepat di mejaku. Aku menghentikan kerjaku dan membaca judulnya sebentar. Undangan Reuni SMAN 74 BandarLampung untuk alumni dari tahun awal sampai lulusan terakhir, berarti acara besar dong.
“Kapan, Dew?” tanyaku sambil melambaikan kertas undangan milikku.
“Baca saja sendiri!” ujarnya meninggalkan ruanganku.
Aku mengerutkan dahiku, dasar pelit!. Lalu aku kembali lagi terlarut pada pekerjaanku.
***
“Kamu ... Rossi kan?”
Ujar seseorang mengagetkanku. Jilbab bercorak bunganya melambai ditiup kipas angin yang berputar di sudut ruangan.
“Siapa ya?” jawabku balik bertanya.
“Lupa? Aku Indah! Aduuuh kangen deh sama kamu!” tanpa ba-bi-bu lagi, orang yang memperkenalkan dirinya Indah itu langsung memelukku.
Sebentar... Indah... Indah...
“Subhanallah, kamu Indah! Waah, selamat ya, Barakallah, sejak kapan?” tanyaku antusias. Indah adalah teman satu bangkuku, dulunya dia tidak berjilbab, maka dari itu aku agak canggung saat melihatnya.
Kami bercengkrama untuk beberapa saat. Acara reuni ini memang cukup besar dari yang kubayangkan, kalau kulihat sih, sepertinya memang dari lulusan pertama deh, habisnya banyak banget tuh yang bangkotan dateng... he..he.. jahat banget sih Rossi.
“Nggak nyangka ya,” ujar Indah tiba-tiba.
“Iya...” sahutku, mataku menangkap kerubutan manusia di pojok ruangan luas ini. Ada apa sih? Ada artis? Segitu ramenya.
“Apanya yang iya coba?”
Sekarang aku yang bengong dengan pertanyaan Indah. Aku menatapnya lurus-lurus, kalau bercanda bukan sekarang saatnya.
“Maksud kamu?” tanyaku akhirnya.
“Ya...ketetapan Allah, saat seseorang mendapat hidayah ataupun sebaliknya,”
Aku tercenung mencoba memahami setiap katanya.
“Lihat itu,”
Mataku mengikuti ayunan tangan Indah. Dan Yuph, berhenti di sosok yang sangat aku kenal. Sangat dekat. Dulu. Diana.
“Aku nggak pernah nyangka, dia akan berubah, ya mungkin aku su’udzon,”
Aku mengangguk membenarkan.
“Aku kesana dulu ya Ndah,” ujarku bersiap-siap meninggalkan Indah.
“Silahkan...”
Langkahku kupercepat. Diana tak seberapa jauh dariku. Mungkin sepuluh langkah lagi sampai. Tapi entah kenapa... terasa jauuuh sekali.
“Assalammu’alaikum Di,” salamku saat berada di depannya dengan mempersembahkan senyuman termanis yang aku punya.
Diana hanya memalingkan kepalanya sejenak ke arahku lalu kembali lagi pada kesibukannya, mengobrol dengan teman-teman. Tebakanku pasti ada hubungannya dengan Maze. Aku rasa hubungan dekatnya dengan Maze pasti membuatnya menjadi terkenal belakangan ini.
Aku masih menunggu. Menunggu jawaban darinya. Namun Diana masih asyik mengobrol dengan teman-teman yang lainnya, bahkan memberikanku kesempatan untuk bisa menerobos kerumunan anak-anak yang semakin menebal-pun tidak.
Mungkin aku memang tak sabar, kurasa kakiku sudah kesemutan menunggu. Aku harus pergi, sepertinya kehadiranku tak diinginkan. Tepat saat aku membalikkan badan, sebuah cengkraman erat menggenggam lenganku erat. Diana. Tersenyum padaku.
***
“Gimana kabarmu?” tanyaku mencoba berbasa-basi. Biasanya aku tak begini, apalagi dengan orang-orang yang dekat denganku, tapi...
“Maze baik-baik saja kalau kau mau bertanya tentang dia,” ujar Diana penuh senyum.
Aku mengerutkan dahiku tak mengerti. Apa maksudnya sih?
“Aku nggak ngerti Di?”
“Udah deh Ros, nggak usah malu, semua orang tadi rata-rata menanyakan Maze, kau juga pasti...”
“Aku menanyakan keadaanmu Di,” potongku. Inilah kebiasaan jelekku saudara-saudara. Apabila aku merasa ada yang nggak beres dengan sesuatu aku pasti langsung protes tanpa ba-bi-bu lagi.
“Sorri,” sambungku.
“Ah, nggak apa-apa kok,” jawabnya datar, masih dengan senyum.
Sejenak kami terjebak dalam kebisuan yang tercipta.
“Aku nggak nyangka lho,” ujarku berusaha membuka pembicaraan.
“Apa?”
“Kau dan Maze, hei bagaimana kalian bisa berkenalan?”
“Oh, ceritanya sudah lama sekali, sewaktu aku masih ospek mungkin. Saat sedang menjalani hukuman senior, tiba-tiba dia datang menghampiriku, menyapaku, dan langsung curhat. Aku saat itu hampir ketawa, bagaimana bisa ada orang yang langsung percaya dengan orang yang baru saja ditemuinya. Ternyata banyak sekali kesamaan antara kami berdua. Lalu kami bersahabat, sampai sekarang,” jawabnya riang.
“Aku juga sempat kaget, sewaktu melihat kamu ditelevisi, menjadi penyambung lidah Maze, hebat...”
“Ah... itu biasa saja kok,”
“ Dikantor rata-rata semua salut dengan karya Maze, apalagi Dewi, dia penggemar beratnya banget,” ujarku, kini lebih rileks.
Diana hanya tertawa. Ekspresi yang menurutku janggal. Dan dia menangkap emosiku, dia menghentikan tawanya. Menggantinya dengan senyum.
“Kamu sendiri gimana? Kamu juga suka kan?”
“Kadang,” jawabku simpel.
“Kadang, wah berarti kamu merasa dia belum cukup lihai ya?”
“Ya... bukannya begitu juga sih, tapi ada beberapa karyanya yang...”
Aku menghentikan ucapanku. Kilatan aneh terlihat dari mata sahabatku itu. Maksudku orang yang pernah menjadi sahabatku itu.
“Ah, sudah lupakan saja, tapi yang membuatku tertarik dari dia itu...”
“Apa?” Diana berkata cepat memotong ucapanku.
“Kemisteriusannya, kadang aku berpikir untuk membuat cerita analogi tentang dirinya, menguak asal-usulnya dan semua identitasnya,” jawabku ringan.
Hening kembali tercipta.
“Maksudmu, kau akan memakai semua kesuksesan Maze, untuk kesuksesanmu sendiri?”
Jujur aku terkejut. Nadanya tak seramah tadi, lebih terkesan dingin, dan jauh dari ramah.
“Nggak... nggak kok, aku cuma...”
“Sudah! Sudah cukup, aku tahu kamu pintar menulis, tapi aku nggak tahu kalau cara yang kamu pakai selicik ini, memakai kesuksesan orang agar kau berhasil! Kau jahat sekali! Aku benci padamu!!”
Dan berakhir sudah, sesudah mengatakannya Diana langsung pergi meninggalkanku yang tak mengerti dengan amarahnya. Aku semakin tak mengerti, ada apa ini?
***
Aku masih memikirkan peristiwa seminggu yang lalu saat Diana marah padaku. Malam semakin larut, kantorku semakin sepi. Malam ini aku terpaksa lembur, karena ada beberapa selisih keuangan.
Brak!! Terdengar pintu dibanting. Hey, dikantor ini hanya ada aku. Pegawai bahkan pak satpam sudah pulang semua lho!
Kepalaku mulai membayangkan cerita-cerita teman-teman tentang ‘penunggu’ kantorku ini. Huuuh, kalau cuma itu sih ngapain takut... dasar.
Namun aku benar-benar tak menyadari kalau sebenarnya malam ini adalah malam yang mengerikan untukku. Tidak sebelum siluet itu muncul. Dan sekarang siluet itu muncul, menatap kearahku, dengan benda berkilat tajam di tangannya!!
***
“Selamat malam Rossi, malam yang Indah bukan?”
Suara ini!
“Diana?! Kamu...?!”
“Ya ini aku sayang, aku disini... ingin membuatmu terkenal, menjadi novel best seller-ku, novelku tentang kriminalitas dan detektif konyol, kau menjadi tokoh utamanya... menjadi korban pertamanya...”
Aku merasakan seluruh bulu kudukku merinding. Diana berdiri disana, Baju dan Jeans ketat membalut tubuhnya yang tinggi semampai, rambutnya dibiarkan terurai tanpa kerudung. Dan sekarang ia maju sembari mengacungkan benda yang kuduga pisau itu.
“Kenapa? Apa salahku?” tanyaku tegang, tanganku meraba mundur mencoba mencari pegangan atau apa saja yang bisa kujadikan alat untuk bertahan.
“Kau lupa? Seminggu yang lalu, di acara Reuni. Tak akan kubiarkan kau menghancurkan Maze. Tak akan...”
“Tapi aku....”
“Kau tahu, aku sudah bilang, Maze banyak memiliki kesamaan denganku, sama-sama dibuang, sama-sama disisihkan, sama-sama disingkirkan, kami berdua melawan semua itu bersama-sama, dan akhirnya kami bisa keluar dari itu semua, dan sekarang?! Kamu ingin menghancurkannya?! Tak akan kubiarkan!”
“Siapa? Siapa yang membuatmu terbuang Di? Siapa yang menyisihkanmu? Aku tak mengerti...”
“Manusia...manusia... dibatasi aib yang bernama lupa, lupakah kalian saat itu? Saat aku pertama kali masuk Segmen tatapan sinis, dan wawancara tak percaya dari Dewi, setiap kali berbagi tugas, tak ada yang percaya kalau aku bisa menulis as well as you are, nggak... nggak ada...”
“Tapi...”
“Lupakah kalian ketika aku selalu menjadi pembantu umum saat kalian mengikuti lomba sedangkan aku sendiri, hanya membawakan benda-benda yang kalian bawa seharusnya! Adilkah itu?!”
“Di... aku...”
“Saat itu Maze datang mengisi kekosongan jiwaku, memberiku inspirasi-inspirasi untuk hidup, itulah sebabnya mengapa aku sangat menyayanginya dan tak rela bila ia disakiti,”
“Di...”
“Maze sukses, semua karyanya dikagumi, degemari. Bahkan orang yang selalu tak percaya dan membuatnya sakit hatipun sangat suka pada karyanya. Dewi... suratnya... tak pernah kubalas, biar ia rasakan bagaimana rasanya dikecewakan,” senyum puas terukir di wajahnya yang manis.
Bagaimana ia bisa tahu sedangkan... Astaghfirullah... nggak mungkin...
“Ka...kamu...Maze...?”
“Memang kau pikir aku siapa?! Diana yang lemah dan selalu menangis?! Aku Maze! Aku Maze!!”
Jantungku berdegup lebih kencang sekarang. Bagaimana mungkin...
“Ma...Maze... kau...”
“Aku sangat kecewa dengan semua sikap lemah Diana, yang selalu terpekur dan menurut dengan sahabat-sahabatnya, aku dorong ia supaya ia lebih berani lagi dalam menghadapi hidup, dan usahaku tak sia-sia, dia bisa....”
“Maze...”
“Diana... kau tahu... sebenarnya aku sangat membencinya, sikapnya yang lemah dan tak punya pendirian membuatku muak! Tapi kesamaan membuat kami bersatu. Kesamaan dibuang, disisihkan, disingkirkan...”
“Oya, Diana sudah menceritakan padaku, kau mau tahu kenapa semua karya-karyaku begitu dikagumi? Karena unsur pembentuknya, aku membutuhkan objek yang nyata untuk setiap karyaku, itulah kunci kenapa karyaku itu menyentuh semua lapisan, karena aku sendiri adalah lapisan itu,” Lanjut Diana alias Maze itu dingin.
“Dan untuk novel detektifku aku masih belum menemukan objeknya, hingga aku bertemu kau dan...”
Matanya kembali berkilat aneh. Aku takut sekali, sekarang jarakku dengan Diana tidak seberapa jauh.
“Di...” kudengar suaraku bergetar
“Di, aku tahu itu kamu... Di, sadarlah...” lanjutku lirih, kakiku masih melangkah mundur. Menghindarinya sebisa mungkin.
“Di... Di... kami semua sayang padamu, kami semua rindu padamu...kami...”
“DIAM!! Sudah cukup kalian berbicara, kalian rebut semua kesuksesanku, kalian rebut semua lahanku, dan sekarang kamu minta Maze untuk menyerahkannya padamu?!”
“Aku..”
“Sudah kubilang diam! Sekarang rasakan bagaimana rasanya saat malaikat maut menjemput nyawamu!”
Diana bergerak maju mengacung-acungkan pisau bermata satunya yang tajam dan berkilat ke arahku. Jantungku semakin berdegup kencang.
“Di tunggu, Di... itu semua karyamu Di... bukan Maze, itu semua karyamu Di.. karyamu... milikmu...yang seharusnya sukses itu kamu! Bukan Maze! KAMU!”
Diana terdiam. Langkahnya terhenti. Terdiam menundukkan wajahnya. Lama sekali.
“...Kau benar...” itu kata pertama yang kudengar.
“Kau benar... seharusnya aku.. seharusnya aku, bukan Maze..”
Diana mengangkat wajahnya, matanya merah berair. Dia menangis.
“Kau benar Ros, seharusnya aku, bukan Maze, Maze merebut semua ide-ideku, dan ia sukses karena ide-ideku! Akan kubunuh kau Maze!”jeritnya histeris.
Diana berlari seperti orang gila, aku menyalakan lampu ruanganku. Takut ada apa-apa dengannya. Diana berhenti di depan cermin yang diletakkan di depan pintu pembatas teras dengan ruang kerja.
“Kau... tega sekali mengkhianatiku... kau...”
Prang!! Pisau itu dilemparkannya ke kaca, membuat kaca hancur berkeping-keping.
“Jangan lari kamu! Kembali!” Diana menjerit nyaring, menggeser pintu melesat ke luar teras, angin dingin masuk mengacak-acak ruangan kerja . Astaghfirullah, ini kan lantai 3. Aku buru-buru berlari menyusulnya, takut kalau ia berbuat nekat. Tapi aku terlambat. Dia sudah berada di tepi pembatas.
“Di.... jangan bergerak, aku akan kesana... oke... tenang... jangan bergerak...” ujarku takut, bergerak perlahan ke arah Diana. Diana masih menatap kedepan dengan tatapan kosong, rambut ikalnya terombang-ambing dipermainkan angin. Jarinya menunjuk lurus kedepan. Dan berkata...
“Dia disana... dia akan kubunuh di... AAAAAARRGHHH!!” dan tubuh itu meluncur dengan cepatnya kebawah, lalu jatuh dan menimbulkan efek suara yang mengerikan, tulang-tulang yang remuk menghantam aspal.
“DIANAAAA!!!!”
***
Makam itu masih ramai. Ramai dengan penggemar-penggemarnya. Ramai dengan orang yang simpati padanya. Dan semuanya tercengang saat di batu nisan itu tertulis:
Ramadhiana Dessylaputri ‘MAZE’
29 Agustus 1987- 5 April 2007
Diana maafkan aku, maafkan aku kalau aku pernah mengecewakanmu. Kalau aku pernah membuatmu merasa tersisih, terbuang, dan tak dihargai... Maafkan aku... Maze...
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar