Jumat, 22 April 2011

* Gak Nyangka -Novel 1- ini novel jaman gue masih Ababil, jadi rada blushing2 gimaanaaaa gituuu..wkkwkk..!

“C

ie…Dinda, yang lagi jatuh cinta nih ye! Dunia seakan-akan berubah jadi pink!” Celetuk Fania, jahil. Wajah Dinda memerah, ia mencubit lengan sahabat dekatnya tersebut. Fania tersenyum jahil

”Ya ampun yang lagi kasmaran, wajahnya merah semerah warna pink!” sambungnya. Wajah Dinda semakin memerah, tapi kali ini dia angkat bicara

“Ih! Kenapa harus warna pink gitu loh?! My love world is Blue lagi! Pink?! Ih…amit-amit!!” Jawabnya sambil merangkul pundak Fania. Fania menggeliat, mencoba melepaskan diri dari rangkulan Dinda.

“Aaaah, Dinda, Fania kan udah sering bilang, jangan rangkul-rangkul pundakku ini. Pundak ini hanya untuk orang yang paling istimewa!” gerutu Fania. Dinda melepaskan rangkulannya. Ia menatap Fania dengan tatapan jenaka.

“Oooo…jadi aku nggak istimewa ya?! Ya udah deh kita nggak usah bersahabat lagi!” Kata Dinda.

“Eeh…bu..bu..bukannya…bukannya gitu, maksudku, ng…kamu tahulah betapa nggak nyamannya aku kalau ada yang menyentuh bahuku dari dulu, Dinda … Dinda istimewa kok di hati Fania, eh jangan marah ya…kan cuma bercanda…” Kata Fania, cemas.

“Hi…hi…hi…ye! Fania kena!! 1-0 untukku!! Becanda lagi!! Mana mungkin sih seorang Dinda mau meninggalkan Fania yang merupakan sahabat terbaik sepanjang masa…”

“Aaah! Dinda nyebelin! Tega-teganya ngeboongin Fania!”

“Maaf, abisnya kamu tu paling gampang ditipu sih, jadi asyik aja!”

“Dasar!! Nyebelin!!”

“Eh terus, ngomong-ngomong orangnya tahu nggak kamu suka sama dia?” lanjut Fania melanjutkan percakapan mereka sebelumnya. Dinda menggelengkan kepalanya cepat. “Jangan pernah dan jangan sampai!” kata Dinda.

“Lho kok???” jawab Fania spontan. Dinda mengerling jenaka.

“Lho kok gimana? Buat apa aku ngomong sama dia, ini kan belum tentu cinta” jawab Dinda. Fania mengangguk lemah, walau sebenarnya dia tidak mengerti, ah…ya sudahlah, sebagai sahabat yang baik, aku harus menyatukan mereka berdua, tekad Fania dalam hati.

***

“Her, lo curiga nggak?” tanya Fahri pada teman sebangkunya, sambil terus mencatat tulisan yang ada di papan tulis.

“Curiga apa?” kata Heri balik bertanya, cuek.

“Ya ampun ternyata lo tu bener-bener polos ya man! Jadi lo sama sekali nggak tahu?”

“Curiga apa? Tahu apa? Ngomong tu yang jelas napa?!” kata Heri yang kini terlihat mulai kesal

“Lihat Fania, dari tadi gue udah mergokin dia ngeliatin elu! Makannya jangan terlalu serius belajar dong! Peduli dikit kek sama lingkungan sekitar, kalo kaya gini terus,jangan-jangan pas gue mati disamping lo, lo nggak tahu lagi!”

“Ya udah sono mati aja lo! Bersyukur gue nggak ngeliat lo pas lagi sakaratul maut! Lagian sebodo amat, mau si Fania ngeliatin gue kek, mau melototin gue kek, itu hak dia, mata-mata dia ini, asal dia nggak ngeganggu privacy gue, gue sama sekali nggak masalah!”

“Ya ampuuuuuun Heri!! Masih nggak ngerti juga ya lo itu?! Dia tu ngeliatin elo pasti ada sebabnya, entah dia suka, entah dia kesel, atau marah, masa lo sama sekali nggak penasaran sih?!” kata Fahri sedikit emosi

“Nggak,” jawab Heri enteng.

“Astagaaaa Heriii!!!” kali ini kesabaran Fahri habis, ia berdiri sambil berkacak pinggang.

“Fahri!!!” tiba-tiba terdengar suara pak guru memanggil cowok badung tersebut. Fahri tersentak kaget, ia kembali duduk di tempat duduknya. Waduh mati gue!! Keluhnya dalam hati.

“Fahri, kamu dengar bapak?” tanya pak guru sekali lagi, Fahri mengangguk.

“I..i,iya pak, saya de..dengar,” jawab Fahri ketakutan

“Kenapa kamu?”

“Ng…anu..itu…”

Heri tersenyum melihat kawannya yang kewalahan menjawab pertanyaan dari pak guru yang bertuubi-tubi. Rasain lo, gangguin gue sih! Katanya dalam hati.

***

“Mau es Ri?” Kata Heri menawarkan es-nya. Fahri melirik kesal ke arah Heri.

“Dasar!! gara-gara lo,gue jadi dihukum nih! eeeh…masih berani nawarin es lagi! Ya udah sini! gue haus nih!” kata Fahri, merebut es dari tangan Heri.

“Busyet deh!! Haus sih haus, tapi jangan kaya onta di padang gurun gersang gitu dong! Tapi…nggak pa-pa deh kasihan…kan lagi dihukum nih! ngepel koridor sekolah ! nggak keren banget, ngepel gitu loh! Ng… mau dibantu? Atau…butuh bantuan?” kata Heri dengan nada mengejek. Fahri melempar kain pel yang sedari tadi kerendem di bak air kotor ke arah Heri, Heri mengelak. “Reseh lo ya?! Kalo mau bantu, bantu aja, nggak usah banyak omong, ayo bantu!!!” jawab Fahri kasar. Tanpa diminta dua kali, Heri membantu Fahri mengepel. Setelah semua pekerjaan selesai, mereka berdua melepaskan penat di bawah pohon mangga.

“Eh Ri, ngomong-ngomong lo bener soal Fania…” kata Heri membuka pembicaraan.

“Emang kenapa?” tanya Fahri heran, mengapa tiba-tiba Heri membicarakan hal itu.

“Tadi gue ngecek lo boong nggak sama gue, dan ternyata setelah gue cek, ternyata…lo bener…gue mergokin dia ngeliatin gue..”

Rasanya saat itu Fahri tertimpuk bola yang sangat besar mendengar pengakuan dari Heri. Aduuuh ni bocah nyebelin banget sih, gue udah mandi keringet begini dia baru sadar kalo gue ngomong bener tadi,gerutu Fahri dalam hati.

“Wooi!! Fahri masih hidup kan?! Kok bengong sih?” kata Heri menggoyang-goyangkan bahu Fahri. Bukannya menjawab Fahri malah menjitak Heri.

“Dasar bocah tengil!! Gue udah keringetan begini lo baru sadar!! Seneng banget ya kalo liat gue jadi babu macam begini!!” kata Fahri kesal. Heri hanya tersenyum jahil.

“Lho…kok tahu sih…jadi malu…” celetuknya jahil. Fahri melotot mendengar jawaban yang tidak diduga-duga tersebut. Melihat ekspresi Fahri yang terlalu memaksakan diri itu, Heri buru-buru meminta maaf.

“Eeeh…sorry sih, just kidding lagi!! Jangan melotot gitu ah, jelek!”

Bukannya tambah reda, mata Fahri tambah dipelotot-pelototin hingga debu masuk matanya.

“Aduuuh Heri tolong dong tiupin mata gue, kemasukan debu nih!”

“Makannya jangan belagu, sini gue tiupin…puffh…”

“Waduh,niup sih niup tapi angin aja dong yang keluar, jangan sampe muncrat macam begini dong!”

“He…he…he…maaf nggak sengaja…”

“Ya! Gue maafin! Eh terus, reaksi Fania waktu ketahuan sama lo gimana?!”

“Nah, pas dia lagi ngeliatin gue, gue bales ngeliatin sambil sanyum dan melambaikan tangan eeeh…dianya malah memalingkan wajahnya…kayak kesel gitu deh, ya udah gue cuekin aja!”

“Bodoh!!”

“Apa katamu?”

“Bodoh, gimana nggak di bilang bodoh, lo sok Te Pe gitu! Gue aja males ngeliatnya apalagi si Fania, dasar bloon!”

“Te Pe?! Apaan tuh?”

“Gini nih orang yang nggak pernah masuk kota, hobinya observasi ke hutan mulu! Te Pe aja nggak tahu. Te Pe itu Tebar Pesona tahu!”

“Oooo….”

“Tapi…..”

“Tapi kenapa?”

“Dia kayaknya nyembunyiin sesuatu deh…gue juga nggak tahu apa…”

“Kira-kira apa ya?”

“Entahlah, yang pasti sesuatu yang misterius yang harus diungkap…”

***

“Dor! Hayo Fania ketahuan!” bentak Fahri di telinga gadis itu. Fania tersentak kaget, Ia berdiri dan menatap Fahri dengan tatapan kesal.

“Apa-apaan sih kamu! Ngagetin aja senengnya!” katanya kesal

“Sengaja, supaya lo lebih sehat, kan sport jantung!” jawab Fahri enteng. Fania tambah kesal mendengar jawaban yang menyebalkan yang diberikan oleh Fahri tersebut.

“Ye…bukannya minta maaf malah ngejawab lagi!! Sana minggir aku kepanasan kamu disini, sana pergi…hus…hus…” jawab Fania seraya mendorong Fahri menjauh dari mejanya.

“Iya deh iya nona manis, gue nggak ganggu lo lagi deh!!” kata Fahri memohon.

“Terserah, udah sana jauh-jauh dariku!!” kata Fania terus mendorong Fahri.

“Oke, lo ya yang ngusir gue jangan sampai nyesel lho! Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau lo dari tadi ngeliatin si Heri, gimana ya kalau si Heri tahu?!”

“Ap…apa…kamu bi…bilang” kata Fania tergagap.

“Ya apa lagi?! Lo tadi ngeliatin si Heri kan? Dengan tatapan yang….wuih…ck..ck..ck…nggak bisa diungkapin dengan kata-kata”

“Tetep mau ngusir gue nih? Gue sih nggak apa-apa tapi kasihan elu-nya” lanjut Fahri. Kali ini dengan sikap mengancam. Kontan saja wajah Fania menjadi pucat mendengarnya. Waduuuh, cowok ini bener-bener usil, iseng, badung, jail, ngeselin, pokoknya nyebelin deh! Kata Fania dalam hati. Melihat Fania yang bengong, Fahri beranjak dari tempat duduknya.

“Ya udah gue pergi nih! daaah…”

“Eeeeh…jangan pergi dulu…sebenarnya kamu itu salah sangka…” kata Fania menahan Fahri. Ia memegang lengan Fahri kuat-kuat.

“Salah sangka?! Salah sangka gimana? Jelas-jelas gue liat elu ngeliatin si Heri”

“Oke-oke aku certain, tapi kamu jangan kasih tahu siapa-siapa ya…sebenarnya…….” Lalu Fania-pun mulai bercerita tentang Dinda.

“Kayaknya kita berdua harus melakukan sesuatu deh!” sambil melipat-lipat kertas yang ada didepannya.

“Kita berdua?! Nggak salah denger tuh? Nggak gue nggak mau!” sergah Fahri.

“Lho…tapikan…tapikan…Fahri udah tahu ceritanya, terus lagian kamu sahabatnya si Heri, please dong bantuin aku….” Kata Fania dengan wajah memelas. Sebenarnya Fahri hampir ngomong ya, tapi begitu lihat tampang melasnya Fania, timbul niat usilnya.

“Oke…tapi harus ada imbalannya, nah imbalannya buat gue apa?”

“I…imbalan? Aduh…Fahri kan tahu sendiri Fania itu selalu dibatasi…gimana Fania mau bayar Fahri…”

“Lo itu emang orang kaya yang medit ya! Bolehlah, tiap pagi diantar pake Freed, tapi untuk bayar gue aja nggak bisa! Dasar pelit!”

Daripada kamu, dasar cowok matre!! Kata Fania dalam hati.

“Terus gimana dong, kitakan berteman, saling bantu kenapa? tanpa pamrih…”

“No..no..no..ini bisnis…jadi harus ada imbalannya…”

“Ya…terus apa dong imbalannya ? kamu itu cowok jahat dan matre ya ternyata…”

“Dari dulu!! Ng…gimana kalo lo bayar pake tenaga lo?”

“Ma..maksud…maksudnya apa?”

“Gini gue kan kerja di sebuah toko buku, gimana kalo lo bantuin gue, tapi gaji lo, buat gue…setuju? Oke udah setuju, kerjanya hari Selasa, Kamis, Sabtu dari jam 14.30-20.30. gimana? Bisa? Bisa…baguss…”

Fania diam mendengar Fahri yang sedari tadi berbicara. “ Ker…ja?”

“Iya kerja, gampang kok, cuma ngangkat-ngangkat buku aja!”

“Ngang…kat …bu…ku…”

“Iya ngangkat buku, eh iya satu lagi, ini berlaku selama kerjasama kita berlangsung, oya gue cabut dulu ya, jangan lupa besok kan hari kamis, lo bawa aja baju ganti, kita langsung berangkat dari sekolah!” teriak Fahri dari kejauhan. Fania hanya bengong mendengarnya. “Ker…ja…ngang…ka…tin…bu…ku…” gumamnya pada diri sendiri.

***

“Heri!!” panggil Fahri dari kejauhan sambil berlari ke arah Heri yang berjalan di depannya.. Heri melambaikan tangannya ke belakang.

“Hah..hah..hah…tahu nggak Her, gue dapet anak buah buat ngebantuin gue kerja di CAHAYA PUSTAKA nanti!” kata Fahri girang.

“Yang lebih asyiknya lagi, anak buah gue itu rela uang gajiannya buat gue!! Wuiih bahagia gue!” sambungnya bersemangat. Heri mengerutkan dahinya.

“Emang ada orang sebodoh itu?!”

Kontan saja Fahri sedikit kesal mendengarnya.

“Dasar! ngomong aja lo sirik sama gue!!”

“Siapa sih? Boleh tahu ngak?”

“Ada deh!!” jawab Fahri sok misterius. Fahri meninggalkan Heri yang masih penasaran dengan orang yang dimaksudkan si Fahri. Sebodoh-bodohnya orang nggak mungkin lah dia rela ngasihin uang gajinya begitu saja…kira-kira siapa ya? Katanya dalam hati.

***

“O…jadi ini pekerja barunya?! Baiklah bekerjalah sebagus mungkin, jangan melakukan kesalahan secara keterlaluan! Fahri, aku perlu berbicara denganmu saja dan kau pekerja baru, tunggu disini!” kata bos toko CAHAYA PUSTAKA. Fahri mengikuti kemana pria paruh baya itu pergi.

“Fahri, bukannya apa, tapi saya ragu untuk memperkejakan gadis yang kau bawa tadi, sepertinya dia tidak pernah bekerja keras”

“Memang bos, dia itu putri seorang konglomerat, tapi bos saya kasihan padanya, sebenarnya dia itu baru minggat dari rumahnya, mungkin masalah keluarga, terus, dia datang pada saya, agar saya bisa membantunya, jadi ya…”

“Kamu memang anak yang baik. Kamu juga pekerja yang rajin dan giat, tapi yang dibutuhkan kita adalah pekerja yang rajin, giat, dan pantang mengeluh! Aku tak yakin itu dapat dilakukan oleh pekerja baru kita ini”

“Tapi pak saya yakin bisa, binatang aja kalau dilatih pasti jadi jinak dan patuh pada tuannya, apalagi manusia”

“Kau mau memberi jaminan apa kalau gadis itu bisa bertahan?”

“Saya nggak tahu pak….”

“Baiklah, kalau gadis itu nggak bisa ngerjain tugasnya dengan sempurna , maka kamu akan saya pecat, gimana?!”

“Ng…baiklah…”

“Ya sudah, sana kembali bekerja!”

Fahri keluar dari ruangan yang luas dan dingin tersebut. Fania menyambut Fahri yang keluar dari ruangan bos yang menurutnya cukup menyeramkan.

“Gimana? Apa aku diterima?”

“Lo nggak denger ya, pokoknya lo sekarang kerja aja deh, inget jangan buat kesalahan!! Tugas pertama lo, nempelin label harga ke buku-buku yang bersangkutan, bisa kan?”

“Aduhhh…”

“Aduh kenapa?”

“Nnggak apa-apa kok”

“Ya udah ini labelnya dan…selamat bekerja”

Fania mulai bekerja dengan tugas pertamanya. Ini sih gampang, katanya dalam hati. 30 menit berlalu, nampaknya Fania mulai bosan. Ia meletakkan stiker label yang berada di tangannya ke sebuah tumpukan buku.

“Fahri ada pekerjaan lain nggak? Fania bosan nih!”

“Nggak ada, udah kerjain aja supaya cepet selesai” Jawab Fahri dengan tangan yang makin sibuk menumpuk buku

“Ng…Fahri, apa setiap hari kamu bekerja seperti ini?”

“Iya…”

“Apa kamu nggak ngerasa capek?”

“Iya…”

“Apa kamu nggak bosan”

“Iya…”

“Apa kamu…”

“Stop…stop, diam dan bekerja!, ngapain sih nanya-nanya kayak gitu! Ayo kerja lagi!!”

Fania hanya diam. Ia mencabut salah satu stiker label harga dan menempelkannya ke dahinya.

“Eh… Fahri, lihat Fania, Fania lucu nggak? Jadi inget film-film Vampire di Cina!” kata Fania sambil bergaya seperti Vampir. Fahri melirik sedikit kearahnya. Aduuuuh….ni anak gimana sih?! Kata Fahri dalam hati.

“Aduh Fania! Jangan kayak anak kecil gitu dong!! Ayo lepas, kalo bos tahu bisa-bisa gue dipecat nanti!!” kata Fahri seraya mencabut stiker yang berada di dahi Fania tersebut. Deg! Jantung Fania seakan berhenti berdetak saat Fahri menyentuh dahinya. Fahri-pun terpaku didepannya. Mereka saling berpandangan dalam waktu yang cukup lama. Tiba-tiba Fania tersadar, lalu ia mencabut lagi sebuah stiker dan menempelkannya ke dahi Fahri.

“Ini balasannya kalau ngambil yang bukan miliknya hihihi…wee!!” kata gadis itu jenaka. Fahri yang tersadar dari lamunannya, lalu dengan gemas mencabut satu stiker dan menempelkannya ke hidung Fania.

“Kamu kira aku tak bisa membalas ya?!”

Lalu beberapa saat kemudian mereka asyik berperang menempelkan stiker, hingga…

“Apa-apaan ini?!” terdengar suara lantang yang menggelegar bagai petir di siang hari. Mereka berdua menoleh ke arah pintu yang merupakan sumber suara itu berasal. Astaga!! Sejak kapan bos berdiri disitu?! Kata mereka dalam hati.

“Fahri, kemari kau! Aku ingin bicara dua mata denganmu, dan kau gadis pengacau diam disini!”

Fahri mengikuti kemana bos yang sedang marah besar itu pergi. Brak!!!! Pintu dibanting begitu saja olehnya.

“Aku kecewa padamu Fahri!! Aku benar-benar kecewa, kukira kau salah satu pegawai yang rajin dan giat dalam bekerja keras!!”

“Tapi boss….”

“Ternyata aku salah, kau tetaplah siswa SMA yang tidak bisa apa-apa, benar-benar mengecewakan!”

“Jadi…”

“Kau di pecat!!”

“Tapi boss…”

“Sudahlah, cepat sana pergi, kau tak mau kan jika aku mengusirmu secara tidak terhormat, oya jangan lupa juga bawa gadis kecilmu itu dan didik dia untuk bekerja keras!!”

Tidak ada komentar: