“Mbak,ini bunga buat mbak..”
Tiba-tiba seorang bocah lucu berusia kurang lebih 8 tahun berlari menghampiriku. Tangannya menjulur, menggenggam sebuah mawar putih yang terbungkus apik dalam plastik. Membungkuk,kuraih tangan si bocah yang seumuran dengan adikku yang bungsu.
“Dari siapa adik manis,?” tanyaku sambil tersenyum dan mengusap kepalanya.
Tidak menjawab, sang adik hanya menunjuk ke arah keramaian orang. Tatapan mataku mengikuti arah telunjuknya yang kurus. Sayang tetap tidak berhasil. Terlalu banyak orang disana.
“Mbak nggak ngerti, terlalu banyak orang disana sayang, gini deh, kalo kamu kasih tahu mbak siapa yang ngasih bunga ini, nanti mbak traktir kamu es krim, mau?” tawarku sambil menatap sang bocah yang matanya berbinar mendengar tawaranku barusan. Kepalanya mengangguk keras, bibirnya tersenyum lebar. Dengan penuh semangat tangan mungilnya meraih tanganku, menariknya untuk mengikuti tiap langkah cerianya.
Sejujurnya dengan penampilanku saat itu, berjalan cepat seperti ini sangat menjengkelkan. Kuangkat sedikit kain sulam untuk mengikuti langkah si adik.
Lalu tiba-tiba langkah adik kecil itu terhenti.
“Ini kakak yang ngasih mbak bunga..” ujarnya polos. Menunjuk pada sosok berkemeja batik yang berdiri membelakangi kami berdua.
Tepat saat itu sang pemilik tubuh membalikkan tubuhnya, dan jatuhlah mawar putih itu dari tanganku.
***
Aku masih termenung mengingat kejadian siang tadi ketika acara wisuda berlangsung. Bagiku memang belum membuktikan apa-apa, tapi apa yang tadi kulihat sudah lebih dari cukup untuk membuatku berpikir ada sesuatu.
“Ka...ka..Kamu?!” ucapku sedikit tergagap. Aku benar-benar terkejut, dan ekspresi yang sama juga terpancar dari wajah sang pemuda yang aku kenal tersebut.
Entah karena bingung, takut atau apalah, dia hanya terpaku menatapku dengan pandangan gelisah tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sekian lama kami terdiam oleh pikiran masing-masing, terusik oleh suara adik kecil yang menagih janjiku.Bagiku saat itu adalah saat yang tepat untuk melarikan diri dari situasi yang canggung itu.
“Maaf aku harus pergi, nanti keluargaku mencari. O iya terimakasih bunganya..” ucapku tanpa berusaha menatap matanya.
Aku membalikkan badanku dengan cepat sehingga tidak memberikan kesempatan pada mataku untuk melihat dia terakhir kalinya. Adik kecil masih dibelakangku, melangkah dengan gembira menyambut hadiahnya.
Kutatap mawar putih yang kuletakkan pada gelas berisi air. Apa artinya? Tanyaku dalam hati.
***
“Kamu yakin nggak apa-apa pergi sendirian?” tanya ayah padaku. Tersenyum aku mengangguk pasti. Pria yang sudah menjelang senja itu terlihat begitu khawatir terhadapku. Tersorot rasa cemas di matanya.
“Nggak apa-apa kok yah, Sarah kan sudah tahu tempatnya, Insyaallah Sarah bisa kok,” ujarku menenangkan. Ayahku mengangguk, tangan penuh kerutnya mengelus kepalaku sayang. Disamping ayah, sahabat-sahabatku berdiri saling berpelukan. Kuhampiri mereka, kupeluk mereka.
“Hei, ini bukan perpisahan yang selamanya, saya hanya mencoba memulai hidup baru, sahabat seperti kalian tak akan tergantikan bagi saya,” ujarku lirih. Semakin jelas terdengar isak tangis yang keluar. Semakin erat pula pelukan yang kurasa.
***
Bis mulai berjalan, tapi kursi disebelahku tetap kosong. Kasihan sekali kalau orang yang duduk disebelahku ini tertinggal, tapi kenapa juga dia belum sampai hingga detik ini?.
Ah buat apa juga mikirin itu, sekarang pikirkan kuliah aja deh. Aku membaringkan kepalaku pada bantal di sandaran bis. Kuselimuti tubuhku dengan selimut, ac bis ini dingin sekali. Walaupun sudah kukecilkan, tapi masih saja terasa dingin.
Tak terasa aku sudah mulai bermimpi. Mimpi indah awalnya, hingga bayangan orang berbatik itu tiba-tiba muncul, tersenyum padaku sambil menyodorkan mawar putihnya,
“i’ve been waiting for a long time to find you, princess..” ujarnya kemudian.
Tepat saat itu aku terbangun. Nafasku menderu. Tanpa kusadari, kepalaku sudah bersandar di bahu sosok bertopi di sampingku. Buru-buru kuangkat kepalaku dari bahu bidang itu. Ku usap mataku berkali-kali.
“Maaf...maaf ya,” ujarku meminta maaf.
Orang itu hanya mengangguk. Aku membenarkan letak bantalku dan mulai kembali memejamkan mata.
***
Ponselku bergetar. Dan getaran itulah yang membangunkan tidurku. Ternyata sudah jam 4 pagi, sebentar lagi waktu Shubuh. Buru-buru kuraih ranselku untuk mengambil tissue basahku. Sesekali kupercikkan air mineral kewajahku. Setelah kurasa cukup segar, kucari handuk mini milikku, dan mengusap wajahku sampai kering.
Aku terpaksa bertayamum, karena posisi dudukku yang kurang menguntungkan serta toilet bis yang terlalu jauh di belakang. Kulakukan ritual rutinku. Selesai Shalat, kubuka sedikit tirai jendela bis malam ini. Masih gelap, walaupun begitu, sudah mulai terlihat aktivitas warga untuk memulai harinya.
Kaca bis malam yang terlalu bening memantulkan sosok disampingku. Masih dengan topinya, dia menutup seluruh wajahnya dengan buku yang dibacanya. Hei, jangan bilang dia terjaga sepanjang malam!. Dan setahuku, sewaktu bis ini berangkat juga kursi disampingku itu kosong kok. Artinya, dia naik bis saat bis sudah setengah jalan. Dan saat itu aku sudah tertidur. Oh, gosh...eh, Astagfirullah. Dan semalam juga aku...
Tanpa kusadari aku menepuk dahiku. Aku bisa merasakan wajahku yang mulai menghangat karena malu. Kututup tirai kaca bis malam. Mencoba menghilangkan rasa grogi, aku meraih kotak snack dari bis yang semalam aku dapat.
Sebenarnya aku tidak lapar, hanya ingin menenangkan rasa grogiku jika ingat apa yang terjadi semalam. Aku mendengar suara buku ditutup. Ekor mataku pun melihat tangan itu meletakkan buku yang dibacanya ke dalam tas miliknya.
“Maaf, jam berapa ya? Tadi kamu Shalat Shubuh atau Shalat Malam?” tanyanya padaku.
Kuangkat wajahku untuk menjawab pertanyaannya. Dan saat itulah aku terpekik lirih karena terkejut,
“Kamu..?!”
***
Kami berdua saling terdiam. Aku menghilangkan rasa panikku dengan terus menerus menatap ke arah kaca bis. Sudah pagi, matahari sudah sempurna bersinar menggantikan bulan yang semalam sempat menjadi raja langit. Ponselku berdering. Ayah, mengirim pesan padaku. Aku segera membalasnya. Tak lama, beberapa temanku pun mengirimiku pesan. Untuk beberapa menit aku berkutat dengan ponselku. Setelah semua pesan mulai berhenti, kembali kuletakkan ponselku ke saku jaketku.
Baru saja tanganku keluar dari saku jaket. Gadget kesayanganku itu kembali berdering. Satu pesan, dari nomor yang tidak aku dikenal. Mungkin dari Utari, dia memang sering gonta-ganti nomor.
“haruskah kita saling diam hingga akhir perjalanan ini, Sarah?”
Aku terkejut membaca isi pesan itu. Kutatap sosok pria di sebelahku. Dia balas menatapku sambil tersenyum dan melambaikan ponselnya.
“Kamu sudah gila ya?” tanyaku kasar dalam keterkejutanku.
Dia hanya tersenyum sambil meletakkan ponselnya kedalam saku Jeansnya.
“Entahlah Sarah, mungkin saja..” jawabnya sambil menatapku lurus. Dan saat itu aku mulai merasa, perjalananku kali ini akan terasa sangat-sangat-sangat panjang.
***
Setelah membersihkan badanku dengan super kilat. Aku mulai memilih menu sarapanku. Kulihat masih banyak penumpang bis yang masih menikmati sarapan paginya, berarti masih ada kesempatanku untuk mengisi perutku yang mulai keroncongan.
Suapan pertamaku pun dimulai. Saat itu aku berpikir, mungkin ada sekitar 7 jam perjalanan lagi yang harus ditempuh. Dan selama itu aku akan terus terjebak duduk bersebelahan dengannya. Saat suapan keduaku mulai kutelan, tiba-tiba kulihat sosok jangkung menarik kursi kosong didepanku. Meletakkan piringnya yang juga sudah diisi menu sarapannya. Dan akhirnya memulai ritual sarapan paginya.
Sepertinya pria jangkung itu tahu aku yang terus mengamatinya.
“Maaf ya Sarah, karena kamu satu-satunya yang aku kenal, makannya aku duduk disini. Nggak apa-apa kan? Kamu nggak kehilangan selera makan gara-gara aku kan?” ujarnya kemudian.
Aku menggelengkan kepalaku.
“Nggak kok, selamat makan ya Faruq..”
Ujarku kemudian. Sosok yang kupanggil Faruq itu terlihat terdiam sesaat saat namanya kusebut, sepintas kulihat senyuman kecil dibibirnya, namun dengan cepat senyuman itu diganti dengan aktifitas mengunyahnya.
***
Tak terasa gara-gara sarapan pagi tadi aku jadi secair ini mengobrol dengan Faruq (walaupun faktanya dominasi percakapan selalu ada padanya). Aku masih bisa merasakan jantungku yang berdegup kencang, tapi setidaknya suasana grogi yang sebelumnya terjadi sudah lebih bisa dikendalikan.
“Jadi kamu mau kemana?” tanyanya padaku.
“Semarang,”
Singkat kujawab pertanyaan itu.
“Tentu saja, bodoh sekali ya pertanyaanku barusan? Hehe..” gumamnya mendengar jawabanku. “Maksudku, di Semarang kamu mau kemana?” lanjutnya tanpa berusaha menatap mataku. Aku hanya diam mendengar pertanyaannya. Apa sih pentingnya dia nanya-nanya sok detail gini? Aku sebutin juga memangnya dia tahu? Apa coba untungnya, gerutuku dalam hati. Aku sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan percakapan yang menurutku nggak ada untungnya ini.
“Kok diam?” ujarnya, “Jadi ke Semarang dalam rangka apa nih? Liburan habis wisuda ya?” tebaknya berusaha menghangatkan suasana dengan gurauan yang menurutku tidak lucu.
“Menurutmu?” lemparku dingin. Aku benar-benar tidak berminat dengan percakapan yang semakin lama semakin membosankan ini. Aku bisa merasakan efek dari ucapanku barusan. Baik aku dan dia tidak ada yang berusaha berbicara satu sama lain. Aku sibuk memainkan Handphoneku yang batunya semakin lowbat saja karena tadi sewaktu istirahat sarapan lupa ku-Charge. Dia...aku tak tahu, dan tak peduli.
Aku sendiri tak pernah coba menghitung menit yang kami lalui dengan saling diam hingga akhirnya kudengar gumamannya yang membuatku kaget setengah mati,
“Aku memang nggak tahu akan kemana, akan apa, akan seperti apa kamu, yang aku tahu, aku harus belajar menyembuhkan diriku sendiri mulai saat ini..” suara itu lirih hampir tak terdengar. Hampir, tapi masih terdengar olehku.
“Maaf?” tanyaku kemudian. Sepertinya dia sadar, bahwa apa yang diucapkannya tadi terdengar olehku, wajahnya menatapku dengan ekspresi antara bingung,kaget dan ingin menjelaskan.
“itu..” suaranya mulai gugup. Dan saat itu aku semakin yakin, ada yang tidak beres dan tidak benar. Dan apapun itu, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Apapun itu.
***
“Sebenarnya aku tahu. Untuk apa kamu pergi. Aku tahu kamu akan melanjutkan kuliahmu di sana, aku tahu. Aku juga tahu cita-cita yang kamu bawa bersama dengan kedatanganmu ini, aku tahu semua. Justru karena aku tahu, aku ingin mengakhiri bodohku ini...ya, untuk mengakhiri..”
“Saya masih belum mengerti maksud kamu..?” jawabku pendek. Sebenarnya kepalaku mulai muncul beberapa hipotesis, tapi kuacuhkan. Karena aku butuh fakta, bukan analisa.Kudengar helaan nafasnya. Pelan dan berat.
“Kamu...kamu tahu kamu seperti apa Sarah? Kamu lebih dingin dari es! Sarah, tak terlintaskah dikepalamu, untuk apa kukirim mawar putih saat kamu wisuda? Untuk apa aku disini, memesan tempat duduk tepat disampingmu ke sebuah kota yang aku nggak tahu dimana?” tanyanya dengan nada penuh tekanan. Untung penghuni bis lainnya banyak yang sedang tertidur saat itu.
“Salahku memang, salahku yang sudah terlanjur addict dengan kamu. Salahku memang, sudah menduakanNya hanya karena perasaan fitrah bernama cinta yang Dia ciptakan. Ok. Aku akhiri semua bodoh ini. Sarah,Demi Alloh, aku jatuh cinta dan suka padamu. Entah sejak kapan rasa itu tumbuh subur, yang pasti tiba-tiba saja ketika aku mendengar kamu akan melanjutkan studimu di kota itu, aku merasa akan sangat kehilangan. Aku tahu, perasaan ini tak halal. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku berusaha untuk menghapusnya, semakin kumencoba semakin ku tersiksa. Wallohi Sarah, aku juga merasa sangat berdosa memiliki perasaan ini. Dan telah kuputuskan, sebenarnya aku ingin mengatakan semua ini saat kamu di wisuda kemarin, tapi yang terjadi malah....”
“Sarah, tanpa berusaha menodai izzah muslimah yang kamu miliki, aku Faruq Abimanyu, ingin kamu memegang ini...”
Tangannya menyodorkan sebuah gelang etnis lucu kearahku, tanganku bersiap menangkap gelang dari tangannya. Gelang yang setahuku nggak pernah lepas dari pergelangan tangannya.
“Aku ingin kamu memegang benda ini,aku mohon jangan ditolak...” lanjutnya sebelum aku mengulurkan kembali gelang itu padanya.
“Untuk apa?” tanyaku singkat sambil mengamati Gelang etnik yang berada di genggaman tanganku itu.
“Sarah, aku pasti akan kembali mengambil gelang itu disaat aku sudah benar-benar melupakanmu dan menemukan tulang rusukku,”
“Jika kamu tidak datang? Bolehkah aku yang mengirimkannya kembali untukmu?” tanyaku kemudian. Wajah itu menunduk dan mengangguk. Jeans biru itu terlihat basah tepat dibawah tundukan wajahnya. Menangiskah dia?
Kutatap lekat gelang etnis yang kini melingkar di pergelangan tanganku tersebut. Kucubit lembut tangan pria yang sedari tadi merangkulku hangat.
“Sudah ingat Mi?” tanyanya pelan.
“Ingat yang mana Bi? Tentang ikhwan introvert aneh yang tiba-tiba saja mengatakan perasaannya pada Ummi?” ledekku.
Suamiku itu hanya mencubit pipiku sayang.
“Bukankah mengatakan sayang, yang didasarkan pada rasa Cinta kita pada Alloh, pada saudara muslimnya itu berpahala? Toh kamu juga nggak mengembalikan gelang itu...hayooo, kamu pasti mulai suka sama aku kan semenjak di bis itu...” goda Faruq yang kini telah resmi menjadi suamiku. Aku membalikkan badanku serta menyipitkan mataku untuk menatap wajah teduh itu.
“Aku tahu, pasti kamu masang seuatu di Gelang ini...pake jasa dukun ya?” ujarku dengan nada bercanda padanya.
“Hehe...Sayang, dukun mana mempan sama kamu? Kamu kan gunung es antartika, yang kalau mau berjalan diatasnya, kita harus memiliki teknik khusus..”jawabnya sambil mencowel hidungku usil. Sebagai gantinya kucubit pinggangnya, tapi dia berkelit dan berlari meninggalkanku. Dibalik punggung tegaknya aku hanya tersenyum.
Jalan hidup, mutlak Alloh yang tahu, sudah hampir 3 tahun semenjak peristiwa di bis itu. Dan 2 bulan kemarin kami dipertemukan kembali dalam kondisi luar biasa. Lucu, sepertinya. Apalagi untukku yang nggak pernah menyangka ini sebelumnya.
***
2 bulan sebelumnya...
Pria itu datang lagi setelah 3 tahun tanpa kabar. Dia datang kerumahku bersama temannya.
“Afwan ukhti, saya bermaksud mengambil gelang yang sudah saya titipkan ke kamu..” ujarnya dengan nada yakin.
Saat itu aku merasa ada sisi hati yang tak rela. Bagaimanapun, aku dan gelang itu sudah bersatu. Sedikit gelisah aku tersenyum dan bertanya,
“Sudah ketemu, tulang rusuknya?” tanyaku sambil melepaskan gelang dari tanganku.
“Alhamdulillah sudah!” jawabnya tegas.
“Oh, ini gelangnya, maaf sudah membawa begitu lama...semoga...diberkahi Alloh ya..doakan aku menyusul secepatnya...” ujarku kemudian sambil meletakkan Gelang itu dimeja.
Tapi ia tidak dengan segera mengambil benda itu. Dia justru duduk mematung menghadap ke arah gelang.
“Ada yang salah ya?” tanyaku tak tahan melihat dia yang hanya mengamati gelang. Kepala itu menggeleng.
“Bagaimana kalau tulang rusuk saya itu adalah...kamu..?”
Bagaikan tersambar petir aku mendengarnya. Apakah ini sebuah lamaran?.
“Bagaimana? Apa kamu mau menjadi partnerku dalam mengarungi samudra kehidupan untuk mencari keridhoanNya ini?”
***
-Fin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar