Utara Selatan
Ahmad rawatib Dzuhur…Ahmad ngajinya 2 juz…Ahmad baca Riyadhus Shalihin ayah…Ahmad jangan suka nonton TV...Ahmad ini...Ahmad itu...aku hampir hapal semua ucapan ayah, yang hampir di katakan padaku tiap harinya. Oya, namaku Ahmad Sobirin, nama udik yang diberikan kedua orang tuaku. Setiap masuk ke kelas baru, hampir semua teman-temanku mentertawakanku.
“Ganteng-ganteng, wajah indo, namanya Ahmad...Sobirin pula...kenapa nggak sekalian Ahmad Sasongko aja...atau Ahmad Siregar?!” ledek salah seorang teman baruku dilanjutkan dengan kikikan beberapa lainnya , saat aku memasuki bangku SMA.
Oya, lupakan nama, toh aku juga tak terlalu memusingkannya. Aku anak kedua dari 3 bersaudara. Saudaraku semuanya perempuan. Kakakku Aisyah, mahasiswi jurusan sastra yang berprestasi kebanggaan ayah. Lalu adikku Nafsah, ‘anak manis’ yang selalu menuruti perintah ayah. Sama sepertiku.
Aku tumbuh dan berkembang di sebuah keluarga, yang bisa di katakan fanatik dengan agama. Ayahku seorang terpandang di kompleks rumahku tinggal. Ibuku, ketua pengajian ibu-ibu RT. Kedua orang tuaku ini benar-benar aktif bila ada acara-acara berbau religius apapun bentuknya. Dirumah, ayah melengkapi isi perpustakaan keluarga dengan bacaan-bacaan tebal seperti, Riyadhus Shalihin, Shahih Muslim, Duratun Nasihin, dan beberapa terjemahan Hadist, dan Al Qur’an dari beberapa penerbit. Ibu selalu stay tune di depan radio, mendengar murratal Qur’an yang dilantunkan seorang ustadzah yang kini mulai naik daun. Ya, begitulah kedua orangtuaku, mereka selalu menyibukkan keseharian mereka dengan kegiatan-kegiatan yang berbau agama. Memang bagus sih, tapi...
***
“Sudah khatam berapa kali nak?” tanya ayah kemudian, jujur, sebenarnya pertanyaan ini yang yang membuatku merasa malas untuk menjawab.
“Ng...” gumamku ragu.
“Berapa kali?”
“Belum yah...aku belum khatam 3 bulanan ini...” ujarku akhirnya, jujur.
Ayah terdiam cukup lama ketika mendengar pengakuanku. Aku gugup tak karuan karenanya. Semoga saja beliau tak marah.
“Kamu ini gimana sih Mad, ayah saja yang lebih tua darimu, bisa mengkhatamkan al Qur’an sebulan sekali. Kamu kok, 3 bulan nggak kelar-kelar...kamu payah Mad!” komentar ayah pedas.
Aku hanya menunduk, mendengarnya.
“Memangnya kamu ngapain aja sih?! Ayah lihat kamu jarang sekali dirumah? Belajar nggak pernah, masak baca Al Qur’an aja nggak khatam-khatam?! Heran ayah sama pikiran kamu!” tandas ayahku, tanpa memberiku kesempatan berbicara.
“Sedikit-sedikit, kamu beralasan ada kegiatan di organisasi...apa? yang ada disekolahmu itu? Rohis ya? Ya...Rohis, tapi masak khatam aja nggak sanggup!” lanjut pria 48 tahunan itu dengan nada mengejek.
Aku, sekali lagi hanya bisa terdiam. Duduk, menatap ayah dengan tatapan kosong. Berusaha terlihat seperti anak manis.
“Ingat Mad, kamu adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga ini! Harusnya kamu bisa menjadi seorang pemimpin untuk kakak dan adikmu! Bukannya malah malas-malasan seperti ini,” ujar ayah menasihatiku.
Aku mengangguk, mengiyakan.Aku takkan bisa mendebat semua keputusan ayahku, itu kelemahanku yang paling besar. Tak pandai bersilat lidah. Aku paling benci jika harus menghadapi situasi seperti itu. Lebih baik aku diam, dan mengangguk manis daripada harus ngotot-ngotot berbicara.
***
Kami berdua saling tertawa renyah. Aku selalu tertawa bila berada didekatnya, bercerita, bahkan membicarakan masalah pribadi. Namanya Andrian, lengkapnya Andrian Reksa Putra. Ia anak pembantuku, bude Isyah. Dia baru saja pergi dari kampungnya setelah lulus STM, untuk sekedar membantu ibunya yang sudah renta. Umurnya memang 2 tahun lebih tua daripada aku. Tapi, aku sama sekali nggak memasalahkan selisih usia itu. Yang penting bagiku, anaknya asyik diajak ngobrol, udah cukup kok.
“Kamu itu termasuk orang-orang beruntunglah Mad, dibesarkan disebuah keluarga yang mengerti agama, aku kagum sekali pada pakde Ashyari, hebat...kharismanya itu lho...” ujar Andri, dengan nada suara yang masih medok, penuh kekaguman. Aku hanya tersenyum simpul mendengar pujiannya. Ah...kharisma...gumamku dalam hati.
“Pasti kamu bangga ya Mad, punya ayah yang shaleh, ibu yang taat, dan keluarga yang...subhanallah...”
Sekali lagi aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Pasti keluargamu itu termasuk Sakinah, Mawadah, Warohmah, dan Dakwah ya Mad...?” ujar Andri sekali lagi. Aku hanya menaikkan bahuku sebagai jawabannya. Sakinah, mawadah, warahmah, dakwah ya...
***
“Mas, sampein salamku sama mas Andri ya...” ujar Nafsah mengagetkanku. Adikku itu baru menduduki kelas 2 SMP, tapi badannya sudah seperti anak-anak SMA umumnya, tinggi semampai, dengan kulit kuning langsat, dan rambut sebahu yang hitam dan ikal. Cantik.
“Kok centil gitu sih?” tanyaku tanpa melepaskan pandanganku dari buku yang sedang kubaca.
“Siapa yang centil?! Ini namanya usaha Mas, usaha kan nggak salah...” kelitnya.
“Kamu memangnya suka Andri? Ngomong aja sendiri,” jawabku cuek.
“Nggak ah...malu, Mas Ahmad aja sih mediatornya...alias mak comblang,”
Aku menggeleng. Enak aja, giliran begini, selalu saja, Mas tolong ya...Mas bantuin aku...mas aku bingung nih, tapi giliran dapet coklat dari pacar-pacarnya, aduh mas rata-rata coklatnya berkismis...aku buru-buru nih, kapan-kapan aja ya...dan segudang alasan lain yang intinya menolak. Tapi aku nggak begitu ngaruh sih, karena aku juga dapat dari para gadis yang suka padaku. Walau aku tak membalasnya, tapi rejeki...nggak ditolaklah!
Kok jadi ngelantur jauh gini, yah intinya, giliran susah, mulai ngedeket-deket, ngerayu-rayu...tapi pas lagi hepi mendadak kumat deh amnesianya.
“Ya mas ya...ya mas ya...” ujar adikku itu memohon padaku. Geli juga melihatnya memohon seperti itu. Akhirnya aku menganggukkan kepalaku, menyetujui permintaannya. Sinar matanya bersinar senang.
“Makasih ya mas...” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku senang.
“Nggak gratis lho, Toblerone 1!” seruku kemudian. Nafsah membalikkan badannya dan mengulurkan lidahnya padaku, aku balas menjulurkan lidahku. Diantara 3 bersaudara, Nafsah memang lebih dekat denganku daripada mbak Aisyah.
***
“Mad udah hafal berapa juz?” tanya ayahku, sambil menyirami tanaman bunganya. Aku yang sebelumnya sibuk mengonsep susunan Acara untuk PHBI minggu depan di sekolahku, terpaksa menghentikan kegiatanku itu.
“Ng...belum yah...baru hafal sampai Asy-Syams...itu juga patah-patah, suka lupa-lupa inget...” jawabku gugup.
Ayah masih menyirami tanaman dipotnya tanpa berbicara sepatah katapun.
“Asy-Syams ya...sehari menghafal berapa ayat? Masak dari dulu Asy-Syams saja...nggak maju-maju...”
Akhirnya komentar pedas yang sebenarnya sama sekali nggak aku tunggu keluar juga.
“Ingat nak, kamu itu satu-satunya anak laki-laki yang ayah dan ibumu punya, kamu akan menjadi pemimpin bagi kakak dan adik-adikmu...”
Lalu ceramah panjang lebar ayahpun dimulai. Kepalaku mulai berdenyut. Aku hanya diam, mentap ayah kosong. Semua nasihat ayah yang di include ke dalam telingaku, ternyata hanya ‘numpang lewat’ dan keluar kembali dan menguap tak berbekas. Aku bosan, setiap hari hanya memakan nasihat-nasihat yang sama dan membosankan.
***
“Pasti enak punya orangtua shaleh, setiap tindak-tanduk kita selalu terkontrol, nggak perlu repot-repot mengontrol diri sendiri...” ujar Andri sekali lagi. Mata coklat jernihnya menatap angkasa penuh kekaguman. Aku hanya tersenyum sinis mendengarnya.
“Iya kan Mad, kamu setuju dengan pendapatku kan?” tanyanya padaku.
“Kalau menurutku, kontrol diri itu tetap dibutuhkan, nggak selamanya orangtua akan mengontrol kita bukan?” ujarku kemudian, mataku juga sedang terpaku melihat indahnya biru langit.
“Iya, tapi...setidaknya, mereka bisa mengarahkan kita ke jalan yang di ridhoi sama Gusti Allah, ndak seperti ibuku...walaupun sekarang beliau sudah mulai berubah...” jawab Andri kemudian.
“Ndri...Andri...nggak semua yang kita bayangkan itu sesuai dengan kenyataan yang ada...” ujarku tanpa melepaskan pandanganku ke arah langit yang semakin biru, karena awan-awan yang mulai bergerak meninggalkannya.
“Maksudnya apa? Aku nggak ngerti...” ujar Andri penuh tanda tanya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
***
Apa ini yang dinamai keluarga sakinah? Dimana seorang anak tak diberi hak untuk menyampaikan pendapatnya? Dimana seorang anak, hanya harus menjalankan apa yang dikatakan oleh kedua orangtuanya, tanpa boleh mencari kenapa ia harus melaksanakan itu semua? Apa ini yang dinamakan keluarga mawadah? Dimana seorang anak mendapatkan beribu teori tentang keagamaan dan kasih sayang, namun dalam penyampaiannya banyak sekali menyakiti hati dan membuat luka jiwa...
Jawablah wahai saudaraku, apa aku salah jika aku bertanya seperti itu? Karena itulah yang kualami. Didalam sebuah keluarga bernuansa islami, aku terkungkung dalam tekanan tanggung jawab yang kuemban. Begitu beratnya hingga aku tak sanggup lagi, hingga aku tertatih menghadapinya...aku capek, aku penat, aku lelah, aku benci dengan semua kebohongan ini, maafkan aku ayah tersayang, ampuni aku ibunda tercinta, tapi aku merasa cukup dengan segala khianat yang kulakukan dibelakang kalian. Dan aku akan mengakhirinya, segera...
***
Aku harus menenangkan ibu untuk kesekian kalinya. Ibu sudah pingsan untuk ke-3 kalinya. Kenyataan pahit yang melandanya memang cukup berat untuk di tumpu seorang diri. Ayah, dengan wajah bijaknya, beristighfar di ujung lorong rumah sakit. Penyesalan dan kekecewaan terlukis di wajah tuanya yang sudah di penuhi keriput. Duhai ayah, kasihan sekali dirimu, di ujung senja usia, di timpa bencana yang begini hebat dan tak disangka-sangka, Nafsah menangis tersedu diduduknya. Dan aku hanya menatap kaca bening yang memperlihatkan sosok wanita yang terbaring sekarat. Kakakku. Aisyah. Ia yang sedang terbaring disitu dengan jarum infus yang tertancap di ujung tangannya dan selang oksigen yang diselipkan di sela kedua lubang hidungnya. Wajahnya pucat, menyiratkan rasa sakit yang menggerogotinya. Rasa sakit saat Sakaw. Kakakku OD. Ditemukan dalam keadaan sekarat di sebuah diskotek...sungguh malang nasibmu kakakku, jalan inikah yang kau titi...padahal kaulah harapan kedua orang tua kita. Kau lah yang selalu dibangga-banggakan oleh mereka. Kaulah mutiara yang indah diantara perunggu dan perak dalam keluarga kita. Kakakku masih terbaring disana. Dadanya bergerak naik turun pelan sekali, seakan-akan susah baginya untuk menghirup oksigen yang tersebar di ruangan dingin tersebut. Sekali lagi aku tertegun. Sedih. Geram. Dan kecewa.
***
“Gimana kabar mbak Aisyah?” tanya Andri padaku.
“Alhamdulillah, keadaannya sudah membaik, beliau sudah bisa berbicara dan bergerak seperti biasanya, tapi...secara mental...ia cacat. Kakakku cacat mental..”
Suara Andri mengucapkan kalimat Thayyibah terdengar lirih di telingaku.
“Maaf ya Mad, aku nggak bisa datang menjenguk, saat itu aku masih diluar kota mengemban tugas yang diberikan ayahmu...” ujarnya sambil menepuk bahuku.
“Ah...nggak apa-apa kok Ndri...” kataku dengan menyunggingkan senyuman terpaksa.
“Saya nggak habis pikir, apa motivasi mbak Aisyah sampai nekat seperti itu...” ujar Andri pada dirinya sendiri.
“Karena cowok, Kak Aisyah melakukan itu semua karena kekecewaannya pada seorang pria yang diidam-idamkannya, kubaca dari Diary-nya, kakakku sangat kecewa saat mengetahui pria idamannya menikah dengan temannya. Sampai-sampai ia melakukan hal bodoh itu...” jawabku tanpa ditanya.
Dan aku pun tahu, kakak menjadi shalih, pintar dan alim juga bukan karena kepahamannya akan semua doktrin yang ayah cekokkan pada kami. Tapi karena ingin mendapatkan cinta dari pria idamannya itu. Sungguh tak disangka.
“Mencoba bunuh diri karena seorang cowok...seperti nggak ada cowok lain saja...” gumam Andri pelan. Aku hanya terdiam mendengar komentarnya. Memang bodoh sekali kakakku itu. Benar kata Andri, seperti tidak ada pria lain yang lebih baik daripada pria idamannya itu saja.
***
Kuhabiskan sepertiga malamku dengan tangisan panjang diantara sujudku. Kulepaskan semua beban yang bersandar di pundakku. Terdengar suara pintu kamarku diketuk. Aku mengakhiri semua keluh kesahku padaNya. Dan beranjak kearah pintu kamar, lalu membukanya.
Didepanku Nafsah menangis, dengan baju minim bahan dan make up belepotan di wajah cantiknya, ia berlari memelukku. Aku berusaha menenangkannya, membimbingnya menjauhi pintu kamarku.
Kini aku dan Nafsah sudah terduduk di dipan empuk di dalam kamarku. Nafsah masih tergugu di dadaku.
“Ada apa? Kenapa kamu menangis? Kamu darimana? Ada apa dengan pakaianmu?” tanyaku bertubi-tubi saat Nafsah mulai bisa mengendalikan tangisnya. Terisak Nafsah mulai menceritakan apa yang terjadi malam itu. Malam itu adalah malam ulang tahun kekasihnya, kekasih Nafsah sudah duduk di bangku SMA. Malam itu mereka merayakannya di hotel berbintang lima. Nafsah yang datang--dengan diam-diam menyelinap pergi dari rumah-- menjadi tamu paling agung di pesta yang rata-rata di hadiri oleh teman si pria. Di tengah pesta, Nafsah di beri minuman yang aneh rasanya, Nafsah sebenarnya sudah berusaha menolaknya. Tapi sang kekasih mendesaknya. Akhirnya dengan embel-embel rasa kasih sayang dan cinta, Nafsah meminum air yang mencurigakan itu. Tak berapa lama Nafsah tak ingat apa-apa lagi. Ketika ia siuman dari pingsannya. Disampingnya sang kekasih sudah duduk tanpa mengenakan apapun... Nafsah baru terkejut. Ia menangis sejadi-jadinya.
Aku membanting bantal yang sedari tadi kupegang. Wajahku memerah karena amarah yang memuncak. Berani-beraninya menyakiti adik kesayanganku?! Cukup hanya kakakku yang tersiksa oleh makhluk bernama pria, takkan kubiarkan adikku merasakan keputusasaan yang sama. Aku beranjak dari dudukku penuh amarah. Mengambil kunci motor yang tergantung, dan berjalan meninggalkan adikku yang masih tersedu.
***
Kutancap gas motorku kencang-kencang. Nafsah bilang, pria brengsek itu masih di hotel tempat ia menodai emas putihku yang cantik. Sialan, akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri. Tekadku sudah bulat, akan kuhajar laki-laki sialan itu sampai ia pun tak bisa merasakan jarinya!
Silau lampu, membuatku memicingkan mata. Terlambat, sebuah mini bus menabrak motorku yang melaju kencang. Braakk!! Aku merasakan tubuhku melambung tinggi sekali, lalu...kepalaku membentur lapisan aspal yang keras dan aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Samar kudengar isak tangis ibu dan Nafsah. Aku merasakan sekujur tubuhku di balut kasa. Sakit rasanya. Oooh...inikah rasanya saat menunggu maut yang akan menjemput. Sakit, sakit sekali.
“Naf...saah..” erangku susah payah, bahkan mengerangpun aku kesusahan. Nafsah yang tersedu mendekatiku.
“Kakak...kakak...maafin Nafsah kak...” ujarnya diantara air mata yang menganak sungai.
“Iya dik...maafin kakak juga ya...ibuu...aku...aku minta maaf...maafkan aku ibu...ayah juga...maafkan aku...maafkan anakmu yang durhaka ini...” ucapku terbata-bata.
Kulihat sekilas dari ekor mataku. Andri sibuk menenangkan ayah yang shock. Aku tersenyum, tampaknya ayah sudah menemukan pengganti yang lebih baik dariku. Aku dapat melihat malaikat Izrail yang siap-siap menjemputku. Tersenyum ku menatap keluargaku terakhir kalinya. Samar kudengar bunyi mesin yang mendeteksi detak jantung berbunyi ‘tiiit’ lama sekali. Samar..samar...hingga tak terdengar sama sekali...
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar