Sayap-sayap patah
Hijau. Mungkin itu warna favoritnya setelah krem.
Setidaknya itulah yang dapat kuketahui atau tepatnya lagi, kusimpulkan sendiri,
selama ini.
Apalagi sebagai kondektur bis yang selalu menjadi
langganannya. Setiap pagi pasti bertemu dengan wajah teduhnya yang selalu
menunduk dan tertutup kain lebar yang melebihi dada dan punggungnya. Akhwat.
Tentu saja aku tahu kalau dia adalah seorang aktivis, karena suatu waktu ketika
aku sedang bekerja, kulihat dia begitu bersemangat membawa spanduk-spanduk yang
menolak tentang terbitnya sebuah majalah kontroversial, PlayBoy, beberapa bulan yang lalu.
Wajahnya masih menunduk. Matanya sayu, menandakan
sebuah kepedihan yang tak terperi dan tak bisa dibagi oleh siapapun. Yang
selalu membuat sebuah pertanyaan besar di kepalaku dan membuat naluri ‘ingin
menjadi pahlawan’-ku muncul. Ada apa wahai ukhti? Bagilah kesedihanmu padaku...
Lho kok jadi sentil mentil gini sih...dia kan
bukan apa-apaku. Kenapa aku begitu mengurusinya.
“Eh mas, ini lho! Mas ini kok malah bengong?! Mau
di kasih uang nggak sih?!”
Suara besar seorang ibu-ibu berperawakan gemuk
didepanku menyadarkanku dari lamunanku selama ini. Kepalaku mengangguk malu,
lalu mengambil uang yang disodorkan oleh ibu-ibu itu.
***
Hari Sabtu, adalah hari yang kurekomendasikan
sebagai hari libur totalku. Selain di hari itu memang ada kajian keagamaan yang
kuikuti aku juga harus menyempatkan untuk menjenguk ibuku di kampung. Aku kan
anak kos.
Namun ada yang spesial di hari ini. Akhwat
berjaket itu datang ke tempat kami biasa berkumpul. Ternyata akhwat itu hendak
menyampaikan amanah yang dititpkan padanya dari sang murabbi. Murabbinya tanpa
disangka dan di duga adalah kakak kandung dari murabbi-ku! Subhanallah,
pertemuan tak di duga.
Hari ini pun beliau mengenakan jaketnya. Berwarna
krem. Cantik. Sempat kumemuji nama-Nya saat menyadari betapa indahnya
makhluk-Nya yang satu ini, menggoyahkan keteguhan iman yang mengakar. Hampir,
tapi belum kok.
Senyumannya di bibir pucat miliknya, terlihat
manis dengan wajah yang senantiasa menunduk. Akhwat kelas super nih?!
He..he..he..
***
Hari ini lagi, kali ini biru. Dengan kantong
bermotif bunga matahari di bawah jaket. Duduknya pun selalu memilih ke arah
jendela. Dan seperti yang biasa kuperhatikan, menatap kosong kearah luar jendela
bis, kadang tersenyum penuh arti, kadang pula mengusap embun air di pelupuk
mata. Gila?. Apa wanita itu gila?. Kurasa tidak. Kurasa memang ada sesuatu yang
membebani pikirannya. Apakah gerangan itu?
***
“Maaf mbak,...”
Aku tak perlu melanjutkan perkataanku, karena
selembaran uang seribu dengan sekeping uang 500, sudah diulurkan kearahku.
Tanpa senyum. Tetap menunduk. Kutengadahkan tanganku untuk menangkap uang yang
diberinya.
“Terima kasih mbak..”
Dan baru kulihat senyumnya. Tipis. Pucat. Jaket
hitamnya hampir menutupi sebagian tubuhnya. Kulihat wajahnya semakin tirus.
Mengurus. Astaghfirullah...apa yang aku lakukan...ya Allah, jadi zina hati dan
mata gini sih?!
***
Kuputuskan untuk menjadikannya madrasah pertama
bagi anak-anakku kelak. Jika dilihat dari segi dien, insyaallah beliau adalah
seorang akhwat yang baik. Hari ini akan kuutarakan niatku ini pada kak Azwar,
murabbiku.
***
Namanya Mufthi Lekha Olivia. Semester 6, Teknik
Sipil di universitasnya. Usia baru 19 tahun. Hobby membaca Al-Qur’an. Motto hidup,
tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini apabila dengan ridho Allah. Visi
hidup, meraih surga-Nya. Cita-cita, Syahid.
Subhanallah, benar-benar tidak bermain-main
nampaknya akhwat yang satu ini. Semua isi proposal balasan yang diberikan dari
pihaknya cukup membuatku ciut dan minder. Calon istri yang begitu sempurna.
Tapi insyaallah, aku bisa.
***
Ini pertama kalinya kudengar suaranya. Lembut,
ringan dan mengalir begitu saja. Kami melanjutkan jenjang ta’aruf antara kami.
Sekali lagi. Aku hanya dapat terpana akan kecerdasannya berbicara.
Ketelitiannya mendengar. Ya Allah mudahkanlah segala apa yang akan terjadi
nanti. Entah itu baik untukku ataupun untuknya.
***
Subhanallah, dik Mufthi, begitu panggilanku
padanya. Setuju untuk kunikahi. Tapi...
“Tapi, saya takut kalau kak Dhani kecewa setelah
tahu saya yang sebenarnya... maka dari itu...saya...”
Perkataan itu terucap diakhir pertemuan. Tanpa ada
sambungan. Sepi. Menyisakan kegamangan dan kebingungan pada diriku. Sebenarnya
dia ini setuju atau tidak menjadi pendamping hidupku?
***
Hari ini pernikahan kami. Begitu bahagia.
Begitupun denganku. Walau masih tertutup dengan hijab tipis, masih dapat
kulihat wajah cantik istriku. Wajahnya berseri. Tapi aku merasa ada yang aneh.
Perasaanku tidak enak.
“Selamat ya Akh, nggak nyangka ana, antum bakalan
duluan...sama akhwat jempolan lagi...” tiba-tiba Jo, teman se Liqo’at-ku
menjabat tanganku erat. Senyuman lebar terlukis di bibirnya.
“Iya...sama-sama, do’akan semoga pernikahan ana
ini bisa menjadi pernikahan yang sakinah, mawadah, warohmah, dan dakwah ya...”
“Pasti lah! Eh ngomong-ngomong, antum juga do’akan
ana dong, supaya dapet yang jempolan juga kayak antum!” Jo menyeringai lebar
saat mengatakannya.
“Iya...i...”
Ucapanku terputus tiba-tiba saat hijab tipis itu
tersingkap. Seorang akhwat berkostum serba pink keluar dari sana. Wajahnya
pucat. Firasatku buruk.
“Afwan kalau mengganggu, tapi ukhti Utie...ukhti
Utie...” suara akwat yang kuduga teman dekat istriku itu terputus-putus
membuatku semakin merasa tidak enak.
“Ada apa dengan dik Mufthi...? Ada apa?!” tanpa
kusadari suaraku yang memang berjenis bariton, menggema di seluruh ruangan aula
itu. Membuat para tamu mengalihkan pendangan kearahku.
“Utie...pingsan...”
Astagfirullah...
***
Aku merapatkan jaket yang kupakai untuk beberapa
kalinya. Handphone yang berada di dalam kantungku bergetar menandakan ada
sebuah panggilan atau hanya sebuah sms.
“Ukhti Mufthi tdk pny sdr, ibunya sdh mninggl 8
thn yg lalu. Ayhny sdh tiada smenjk ia dlm kndungn, dy ank tunggl.”
SMS singkat itu terpampang di layar kecil hp-ku.
Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam, menghela nafas yang kuhisap sedari tadi.
Ya Allah dik, kenapa anti nggak ngomong masalah sepenting itu...
Aku kembali menatap tubuh yang tak bergerak itu di
atas pembaringan rumah sakit yang menurutku sama sekali tidak nyaman. Istriku.
Istri yang baru kunikahi.
“Permisi, apa ada keluarga pasien?” tiba-tiba
seorang pria berbaju putih memasuki ruang berlabel ICU itu, dan mengagetkanku.
“Saya, suaminya...” ujarku sambil berusaha
tersenyum.
“Ada yang ingin saya sampaikan, bisa ikut saya
sebentar?”
***
Wajahnya masih tenang. Sama sekali tak terlihat
ketakutan, atau perasaan lain semacamnya.
“Kakak kecewa?” tanyanya sambil tersenyum.
Suaranya masih lembut. Hanya aku yang diam.
Kepalaku masih menunduk.
“Kakak benar-benar kecewa ya?”
Suara lembut itu kembali terdengar. Teringat
kembali betapa dulu aku sangat mengaguminya. Tapi sekarang...?!
“Bicara saja kak, aku akan terima kok...”
“Ya! Aku kecewa! Aku sangat kecewa! Kenapa kamu
nggak bilang dari dulu?! Dari awal?!”
Tanpa kusadari suaraku meninggi, memenuhi dan
menggema di seluruh ruangan yang perkiraannku hanya berukuran 3x4 m tersebut.
Namun sekali lagi. Aku sama sekali melihat raut
sedih di rona wajah cantiknya yang memucat.
Mengalirlah cerita pilu yang mengiris hati membuat
mati semua indra di tubuh ini. Tanpa tangis, lepas...tanpa beban. Tak terasa
sudut mata ini mulai membasah. Maafkan aku dik...
***
Kuusap untuk terakhir kalinya pusara yang baru
saja di timbun tersebut. Penuh rasa sayang dan cinta. Selamat jalan
dik...semoga kau bahagia di sana. Ingatanku kembali melayang pada peristiwa 3
hari yang lalu saat kau bercerita padaku. Tentang penyakit yang kau derita.
“...aku mewarisi penyakit ini dari ibuku...dan
ibuku mendapatkannya dari ayahku, ayahku...ayahku meninggal ketika hidayah
menghampirinya...ya kak...aku positif HIV AIDS...penyakit yang selama ini
ditakuti orang...”
“...terakhir kali saat kutahu umurku dapat
diperhitungkan secara medis...aku mencoba mendekati-Nya...namun, justru karena
itu aku jadi semakin jatuh cinta pada-Nya...”
“...selain virus bernama HIV AIDS...ternyata aku
juga menderita tumor di sumsum tulang belakangku, yang tak tanggung-tanggung
langsung menyerang seluruh pusat syarafku...dan membuat sistem imun di tubuhku
melemah...aku...benar-benar...sakit...”
Selama beberapa detik ucapannya terhenti. Nafasnya
ditarik berat sekali.
“Dan...waktuku...menurut catatan medis tak lama
lagi...maafkan aku kak, aku...menikah denganmu, ketika...saat itu tiba...aku
berharap...jika memang nanti catatan medis itu benar adanya...aku minta kakak
selalu mendoakan aku, agar kita dapat bertemu kelak di surga-Nya...ya
kak...ya...”
Suaranya semakin melemah, melemah dan melemah.
Namun matanya masih menatapku penuh harap. Berat kumenganggukkan kepalaku. Lalu
kulihat senyuman manis di bibir indahnya. Pelan tapi pasti mata indah itu
terpejam. Lama sekali. Istriku koma. 3 hari lamanya ia tertidur. Hingga hari
ini, ketika kedua kalimat syahadat diucapkannya ketika nafas berat itu
berhembus terakhir kali. Dan Innalillahiwa inna illahi roji’uun, semua
milik-Nya akan kembali lagi pada-Nya...
Masih kutatap tanah merah tak bernyawa di depanku.
Selintas mulai tergambar slide-slide gambar setiap pertemuanku dengannya.
Jaket-jaketnya. Dan juga sikap anehnya. Dan semua impiannya yang kubaca dari
proposal balasan. Semua melayang...seperti sayap-sayap burung yang patah karena
kerasnya tiupan angin.
Selesai
#Cerpen masa-masa liqo'at, murabbi-murabbi, ishh...rindu kali awak dengan masa-masa tu, pun sebenarnya korelasi antara sayap patah dengan cerita ni takde, tapi so far, ini cerpen sangat...apa ya bahasanya, sangat idealis..hihi...mengingat istilah-istilah yang dipakai kebanyakan dari kalangan tertentu saja...^^
1 komentar:
FABATARATRA BACCARAT | Free Online Casinos & Slots
FABATARATRA CASINO CASINO BACCARAT ONLINE, PLAY WITH REAL MONEY! deccasino The most innovative casino and slot machine 바카라 game with febcasino no download required.
Posting Komentar