Minggu, 16 Oktober 2011

*Sayap-sayap Patah -Shortie-


Sayap-sayap patah
Hijau. Mungkin itu warna favoritnya setelah krem. Setidaknya itulah yang dapat kuketahui atau tepatnya lagi, kusimpulkan sendiri, selama ini.
Apalagi sebagai kondektur bis yang selalu menjadi langganannya. Setiap pagi pasti bertemu dengan wajah teduhnya yang selalu menunduk dan tertutup kain lebar yang melebihi dada dan punggungnya. Akhwat. Tentu saja aku tahu kalau dia adalah seorang aktivis, karena suatu waktu ketika aku sedang bekerja, kulihat dia begitu bersemangat membawa spanduk-spanduk yang menolak tentang terbitnya sebuah majalah kontroversial, PlayBoy, beberapa bulan yang lalu.
Wajahnya masih menunduk. Matanya sayu, menandakan sebuah kepedihan yang tak terperi dan tak bisa dibagi oleh siapapun. Yang selalu membuat sebuah pertanyaan besar di kepalaku dan membuat naluri ‘ingin menjadi pahlawan’-ku muncul. Ada apa wahai ukhti? Bagilah kesedihanmu padaku...
Lho kok jadi sentil mentil gini sih...dia kan bukan apa-apaku. Kenapa aku begitu mengurusinya.
“Eh mas, ini lho! Mas ini kok malah bengong?! Mau di kasih uang nggak sih?!”
Suara besar seorang ibu-ibu berperawakan gemuk didepanku menyadarkanku dari lamunanku selama ini. Kepalaku mengangguk malu, lalu mengambil uang yang disodorkan oleh ibu-ibu itu.
***
Hari Sabtu, adalah hari yang kurekomendasikan sebagai hari libur totalku. Selain di hari itu memang ada kajian keagamaan yang kuikuti aku juga harus menyempatkan untuk menjenguk ibuku di kampung. Aku kan anak kos.
Namun ada yang spesial di hari ini. Akhwat berjaket itu datang ke tempat kami biasa berkumpul. Ternyata akhwat itu hendak menyampaikan amanah yang dititpkan padanya dari sang murabbi. Murabbinya tanpa disangka dan di duga adalah kakak kandung dari murabbi-ku! Subhanallah, pertemuan tak di duga.
Hari ini pun beliau mengenakan jaketnya. Berwarna krem. Cantik. Sempat kumemuji nama-Nya saat menyadari betapa indahnya makhluk-Nya yang satu ini, menggoyahkan keteguhan iman yang mengakar. Hampir, tapi belum kok.
Senyumannya di bibir pucat miliknya, terlihat manis dengan wajah yang senantiasa menunduk. Akhwat kelas super nih?! He..he..he..
***
Hari ini lagi, kali ini biru. Dengan kantong bermotif bunga matahari di bawah jaket. Duduknya pun selalu memilih ke arah jendela. Dan seperti yang biasa kuperhatikan, menatap kosong kearah luar jendela bis, kadang tersenyum penuh arti, kadang pula mengusap embun air di pelupuk mata. Gila?. Apa wanita itu gila?. Kurasa tidak. Kurasa memang ada sesuatu yang membebani pikirannya. Apakah gerangan itu?
***
“Maaf mbak,...”
Aku tak perlu melanjutkan perkataanku, karena selembaran uang seribu dengan sekeping uang 500, sudah diulurkan kearahku. Tanpa senyum. Tetap menunduk. Kutengadahkan tanganku untuk menangkap uang yang diberinya.
“Terima kasih mbak..”
Dan baru kulihat senyumnya. Tipis. Pucat. Jaket hitamnya hampir menutupi sebagian tubuhnya. Kulihat wajahnya semakin tirus. Mengurus. Astaghfirullah...apa yang aku lakukan...ya Allah, jadi zina hati dan mata gini sih?!
***
Kuputuskan untuk menjadikannya madrasah pertama bagi anak-anakku kelak. Jika dilihat dari segi dien, insyaallah beliau adalah seorang akhwat yang baik. Hari ini akan kuutarakan niatku ini pada kak Azwar, murabbiku.
***
Namanya Mufthi Lekha Olivia. Semester 6, Teknik Sipil di universitasnya. Usia baru 19 tahun. Hobby membaca Al-Qur’an. Motto hidup, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini apabila dengan ridho Allah. Visi hidup, meraih surga-Nya. Cita-cita, Syahid.
Subhanallah, benar-benar tidak bermain-main nampaknya akhwat yang satu ini. Semua isi proposal balasan yang diberikan dari pihaknya cukup membuatku ciut dan minder. Calon istri yang begitu sempurna. Tapi insyaallah, aku bisa.
***
Ini pertama kalinya kudengar suaranya. Lembut, ringan dan mengalir begitu saja. Kami melanjutkan jenjang ta’aruf antara kami. Sekali lagi. Aku hanya dapat terpana akan kecerdasannya berbicara. Ketelitiannya mendengar. Ya Allah mudahkanlah segala apa yang akan terjadi nanti. Entah itu baik untukku ataupun untuknya.
***
Subhanallah, dik Mufthi, begitu panggilanku padanya. Setuju untuk kunikahi. Tapi...
“Tapi, saya takut kalau kak Dhani kecewa setelah tahu saya yang sebenarnya... maka dari itu...saya...”
Perkataan itu terucap diakhir pertemuan. Tanpa ada sambungan. Sepi. Menyisakan kegamangan dan kebingungan pada diriku. Sebenarnya dia ini setuju atau tidak menjadi pendamping hidupku?
***
Hari ini pernikahan kami. Begitu bahagia. Begitupun denganku. Walau masih tertutup dengan hijab tipis, masih dapat kulihat wajah cantik istriku. Wajahnya berseri. Tapi aku merasa ada yang aneh. Perasaanku tidak enak.
“Selamat ya Akh, nggak nyangka ana, antum bakalan duluan...sama akhwat jempolan lagi...” tiba-tiba Jo, teman se Liqo’at-ku menjabat tanganku erat. Senyuman lebar terlukis di bibirnya.
“Iya...sama-sama, do’akan semoga pernikahan ana ini bisa menjadi pernikahan yang sakinah, mawadah, warohmah, dan dakwah ya...”
“Pasti lah! Eh ngomong-ngomong, antum juga do’akan ana dong, supaya dapet yang jempolan juga kayak antum!” Jo menyeringai lebar saat mengatakannya.
“Iya...i...”
Ucapanku terputus tiba-tiba saat hijab tipis itu tersingkap. Seorang akhwat berkostum serba pink keluar dari sana. Wajahnya pucat. Firasatku buruk.
“Afwan kalau mengganggu, tapi ukhti Utie...ukhti Utie...” suara akwat yang kuduga teman dekat istriku itu terputus-putus membuatku semakin merasa tidak enak.
“Ada apa dengan dik Mufthi...? Ada apa?!” tanpa kusadari suaraku yang memang berjenis bariton, menggema di seluruh ruangan aula itu. Membuat para tamu mengalihkan pendangan kearahku.
“Utie...pingsan...”
Astagfirullah...
***
Aku merapatkan jaket yang kupakai untuk beberapa kalinya. Handphone yang berada di dalam kantungku bergetar menandakan ada sebuah panggilan atau hanya sebuah sms.
“Ukhti Mufthi tdk pny sdr, ibunya sdh mninggl 8 thn yg lalu. Ayhny sdh tiada smenjk ia dlm kndungn, dy ank tunggl.”
SMS singkat itu terpampang di layar kecil hp-ku. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam, menghela nafas yang kuhisap sedari tadi. Ya Allah dik, kenapa anti nggak ngomong masalah sepenting itu...
Aku kembali menatap tubuh yang tak bergerak itu di atas pembaringan rumah sakit yang menurutku sama sekali tidak nyaman. Istriku. Istri yang baru kunikahi.
“Permisi, apa ada keluarga pasien?” tiba-tiba seorang pria berbaju putih memasuki ruang berlabel ICU itu, dan mengagetkanku.
“Saya, suaminya...” ujarku sambil berusaha tersenyum.
“Ada yang ingin saya sampaikan, bisa ikut saya sebentar?”
***
Wajahnya masih tenang. Sama sekali tak terlihat ketakutan, atau perasaan lain semacamnya.
“Kakak kecewa?” tanyanya sambil tersenyum.
Suaranya masih lembut. Hanya aku yang diam. Kepalaku masih menunduk.
“Kakak benar-benar kecewa ya?”
Suara lembut itu kembali terdengar. Teringat kembali betapa dulu aku sangat mengaguminya. Tapi sekarang...?!
“Bicara saja kak, aku akan terima kok...”
“Ya! Aku kecewa! Aku sangat kecewa! Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?! Dari awal?!”
Tanpa kusadari suaraku meninggi, memenuhi dan menggema di seluruh ruangan yang perkiraannku hanya berukuran 3x4 m tersebut.
Namun sekali lagi. Aku sama sekali melihat raut sedih di rona wajah cantiknya yang memucat.
Mengalirlah cerita pilu yang mengiris hati membuat mati semua indra di tubuh ini. Tanpa tangis, lepas...tanpa beban. Tak terasa sudut mata ini mulai membasah. Maafkan aku dik...
***
Kuusap untuk terakhir kalinya pusara yang baru saja di timbun tersebut. Penuh rasa sayang dan cinta. Selamat jalan dik...semoga kau bahagia di sana. Ingatanku kembali melayang pada peristiwa 3 hari yang lalu saat kau bercerita padaku. Tentang penyakit yang kau derita.
“...aku mewarisi penyakit ini dari ibuku...dan ibuku mendapatkannya dari ayahku, ayahku...ayahku meninggal ketika hidayah menghampirinya...ya kak...aku positif HIV AIDS...penyakit yang selama ini ditakuti orang...”
“...terakhir kali saat kutahu umurku dapat diperhitungkan secara medis...aku mencoba mendekati-Nya...namun, justru karena itu aku jadi semakin jatuh cinta pada-Nya...”
“...selain virus bernama HIV AIDS...ternyata aku juga menderita tumor di sumsum tulang belakangku, yang tak tanggung-tanggung langsung menyerang seluruh pusat syarafku...dan membuat sistem imun di tubuhku melemah...aku...benar-benar...sakit...”
Selama beberapa detik ucapannya terhenti. Nafasnya ditarik berat sekali.
“Dan...waktuku...menurut catatan medis tak lama lagi...maafkan aku kak, aku...menikah denganmu, ketika...saat itu tiba...aku berharap...jika memang nanti catatan medis itu benar adanya...aku minta kakak selalu mendoakan aku, agar kita dapat bertemu kelak di surga-Nya...ya kak...ya...”
Suaranya semakin melemah, melemah dan melemah. Namun matanya masih menatapku penuh harap. Berat kumenganggukkan kepalaku. Lalu kulihat senyuman manis di bibir indahnya. Pelan tapi pasti mata indah itu terpejam. Lama sekali. Istriku koma. 3 hari lamanya ia tertidur. Hingga hari ini, ketika kedua kalimat syahadat diucapkannya ketika nafas berat itu berhembus terakhir kali. Dan Innalillahiwa inna illahi roji’uun, semua milik-Nya akan kembali lagi pada-Nya...
Masih kutatap tanah merah tak bernyawa di depanku. Selintas mulai tergambar slide-slide gambar setiap pertemuanku dengannya. Jaket-jaketnya. Dan juga sikap anehnya. Dan semua impiannya yang kubaca dari proposal balasan. Semua melayang...seperti sayap-sayap burung yang patah karena kerasnya tiupan angin.

Selesai

#Cerpen masa-masa liqo'at, murabbi-murabbi, ishh...rindu kali awak dengan masa-masa tu, pun sebenarnya korelasi antara sayap patah dengan cerita ni takde, tapi so far, ini cerpen sangat...apa ya bahasanya, sangat idealis..hihi...mengingat istilah-istilah yang dipakai kebanyakan dari kalangan tertentu saja...^^

1 komentar:

Anonim mengatakan...

FABATARATRA BACCARAT | Free Online Casinos & Slots
FABATARATRA CASINO CASINO BACCARAT ONLINE, PLAY WITH REAL MONEY! deccasino The most innovative casino and slot machine 바카라 game with febcasino no download required.